BRKS

Tak Cukup Normatif! Raperda Pelindungan Harus Mampu Hadirkan Keadilan Nyata Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Raperda Pelindungan Harus Mampu Hadirkan Keadilan Nyata Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Jombang — Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Jombang menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), tercatat sebanyak 222 kasus sejak Januari hingga November 2024. Angka ini meningkat drastis dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 133 kasus.

Di tengah situasi darurat tersebut, Pemerintah Kabupaten Jombang bersama DPRD sedang merancang Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pelindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Namun, sebagian aktifis dan masyarakat sipil Jombang menilai bahwa substansi Raperda tersebut belum mampu menjawab kebutuhan riil para korban di lapangan.

Berdasarkan hasil diskusi beberapa elemen masyarakat yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, akademisi, praktisi hukum, politisi, tokoh agama dan lembaga keagamaan ditemukan beberapa catatan kritis terkait isi Raperda. Diantaranya adalah belum adanya mekanisme koordinasi lintas sektor yang jelas, ketiadaan jaminan ketersediaan rumah aman (shelter) bagi korban, persoalan anggaran yang belum sepenuhnya mengakomodir kebutuhan penanganan korban di lapangan, serta masih lemahnya perlindungan hukum bagi korban dalam proses pelaporan dan penanganan kasus.

Melalui diskusi bersama yang digelar di Graha Gusdur pada 12 April 2025 tersebut juga menyoroti terbatasnya layanan medis yang diberikan kepada korban kekerasan. Layanan medis yang selama ini tersedia masih sebatas visum, sementara kebutuhan lain seperti konseling, tes DNA, visum psikiatrikum, juga aborsi aman bagi korban perkosaan belum diakomodasi secara jelas bahkan seringkali dibebankan kepada keluarga korban.

Sementara itu Aliansi Inklusi Jombang yang ikut hadir dalam diskusi tersebut juga menegaskan bahwa Raperda belum mengadopsi pendekatan berbasis pengalaman korban, terutama yang berasal dari kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, pekerja informal, serta mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. Selain itu, belum ada definisi yang tegas mengenai siapa yang dapat berperan sebagai pendamping korban, juga selama ini masih terjadi tumpang tindih dalam proses pendampingan dan penanganan kasus hukum perempuan dan anak korban kekerasan diantara OPD terkait dengan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat.

Menutup sesi diskusi, seluruh peserta sepakat untuk mendorong agar penyusunan Raperda dilakukan secara terbuka dan inklusif, melibatkan korban serta komunitas yang selama ini bekerja langsung mendampingi korban kekerasan. Mereka berharap regulasi ini tidak sekadar menjadi formalitas hukum, tetapi benar-benar menjadi alat pelindung yang berpihak dan mampu menjawab persoalan realitas sosial yang dihadapi perempuan dan anak korban kekerasan di Jombang. (Noor – KR53 Broadcast)