BRKS

“Perempuan dan Alam yang Terabaikan: Membaca Ekofeminisme Mbok Dewi di Jombang”

Perempuan sering kali menjadi pihak pertama yang merasakan dampak langsung dari kerusakan lingkungan mulai dari krisis air hingga polusi serta memimpin perlawanan akar rumput terhadap sistem patriarki dan kapitalisme yang merendahkan alam sekaligus tenaga kerja perempuan. Hal ini menegaskan fokus ganda ekofeminisme pada gender dan ekologi sebagai dua sistem penindasan dan perlawanan yang saling terkait.

Wacana tersebut menjadi topik utama dalam forum diskusi yang digelar oleh Gusdurian Jombang, Minggu (19/10/2025), di Kaliwungu, Jombang. Diskusi ini menghadirkan aktivis perempuan dari Solo sekaligus dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Phil. Dewi Candraningrum, M.Ed., yang akrab disapa Mbok Dewi. Ia menjelaskan konsep ekofeminisme, peran perempuan sebagai garda terdepan dalam pembelaan lingkungan, serta konteks sosial-politik-ekonomi yang melatarbelakangi kerusakan ekologis dan kerja berperspektif gender.

Dalam pemaparannya, Mbok Dewi menyoroti beban tidak proporsional yang ditanggung perempuan dalam pekerjaan domestik dan perawatan lingkungan kerja penting yang tidak dibayar dan kerap diabaikan oleh sistem kapitalisme dan ekonomi neoliberal. Ia juga menyinggung perjuangan nyata perempuan di Indonesia melawan perusakan lingkungan akibat pencemaran industri, perampasan tanah, dan proyek pembangunan tidak berkelanjutan seperti hotel, perkebunan, dan pabrik.

Menurutnya, kapitalisme neoliberal telah mengabaikan kerja reproduktif perempuan mulai dari mengurus rumah tangga, mengasuh anak, merawat orang sakit, hingga menjaga kebersihan air, udara, dan tanah. Padahal, bentuk kerja tersebut sangat penting bagi kesejahteraan sosial. Ia memperkenalkan konsep “ekonomi perawatan (care economy)” sebagai koreksi terhadap paradigma ekonomi dominan, yang menuntut pengakuan dan kompensasi negara atas kerja-kerja perawatan, mencontoh kebijakan progresif di negara-negara Skandinavia.

Mbok Dewi juga menyinggung penurunan populasi katak, lebah, dan spesies lain sebagai tanda kerusakan ekosistem yang berdampak langsung pada produktivitas pertanian dan ketahanan pangan. Perubahan iklim yang memicu lonjakan populasi nyamuk memperburuk risiko kesehatan, terutama bagi perempuan dan anak perempuan, melalui meningkatnya penyakit dan kerentanan sosial seperti perkawinan anak. Hal ini menunjukkan keterkaitan erat antara kesehatan lingkungan, keadilan sosial, dan kesetaraan gender.

Di akhir diskusi, Mbok Dewi menyerukan aksi-aksi ekofeminisme yang dapat dimulai dari diri sendiri seperti berhenti menggunakan produk perawatan tubuh kapitalistik yang menjadikan perempuan objek pasar, membawa wadah dan botol minum sendiri saat membeli makanan, mengurangi penggunaan plastik rumah tangga, serta membudayakan hajatan ramah lingkungan dengan kemasan alami dan pengelolaan sampah komunitas. Langkah-langkah kecil ini, ujarnya, merupakan bentuk nyata strategi ekofeminis untuk mengurangi polusi sekaligus memperkuat ekonomi perempuan. (Noor Chasanah – BRKS.OR.ID)