BRKS

“Nelayan Kecil di Tengah Gelombang Kebijakan” Seruan untuk Negara Lebih Adil di Laut

Jakarta, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) melakukan audiensi ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menyuarakan satu hal sederhana namun mendesak yaitu nasib nelayan kecil yang terombang-ambing di tengah gelombang kebijakan dan pasar global.

Sebanyak 30 perwakilan nelayan dari empat kabupaten di Jawa Barat yaitu Cirebon, Indramayu, Karawang, dan Bekasi hadir dalam audiensi 24 Oktober 2025. Mereka mewakili nelayan jaring, nelayan bubu, dan para pemasok rajungan yang selama ini menjadi tulang punggung rantai ekonomi pesisir.

Saat audiensi, SNI di terima baik oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP dan jajaran dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut, Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, serta jajaran dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, ungkap Arif Setiawan, selaku Sekretaris Jenderal SNI. Meski sebenarnya mereka berharap bisa berdialog langsung dengan Bapak Menteri KKP.

Dalam pertemuan itu, SNI menyoroti persoalan besar yang kini meresahkan ribuan nelayan rajungan yaitu keputusan Amerika Serikat menolak impor rajungan dari Indonesia yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2026. Kebijakan itu menghantam langsung nasib hidup sekitar 12.962 nelayan jaring di 4 kabupaten pesisir Jawa Barat. Mereka yang selama ini hidup dari hasil tangkapan rajungan, kini mulai terancam tak laku di pasar luar negeri apalagi rajungan juga sulit dijual di pasar lokal.

Di sisi lain, Arif juga menyoroti persoalan alat tangkap tidak ramah lingkungan di Indonesia yang tidak pernah serius diselesaikan oleh pemerintah dari dulu hingga sekarang. Kini persoalan tersebut menimpa nelayan kecil jaring rajungan yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan sesuai peraturan perundangan-undangan Republik Indonesia, tetapi diminta beralih alat tangkap ke bubu padahal kapasitas kapal mereka rata rata di bawah 7 GT (Gross Tonnage). Ditambah lagi persoalan stok rajungan di Laut Jawa (WPP 712) di bawah 4 mill sudah mengalami krisis. 

Lebih lanjut Arif mengatakan bahwa situasi ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keberlangsungan hidup komunitas pesisir terutamanelayan jaring rajungan yang berada di Sumatra Utara, Selawesi Barat dan daerah-daerah potensi rajungan lainnya. SNI juga menyampaikan pandangannya terkait rencana tanggul laut raksasa alias Giant Sea Walldalam kebijakan nasional pemerintahan presiden Prabowo Subiyanto, mengingat proyek raksasa semacam itu kerap menimbulkan dampak sosial dan ekologis besar di wilayah pesisir.

Dalam audiensi tersebut, setiap kelompok nelayan menyampaikan persoalannya masing-masing. Dari Karawang, nelayan mengeluhkan tindakan represif petugas pengawasan saat mereka melaut di perairan Kalimantan Barat. Dari Indramayu, nelayan menyoal aturan migrasi kapal berukuran 10–29 GT yang dianggap memberatkan. Sementara nelayan Cirebon menyoroti sulitnya akses BBM, rumitnya proses perizinan, dan minimnya perlindungan ketika terjadi kecelakaan laut. Sedangkan nelayan Bekasi mengeluhkan lalu lintas kapal industri yang terlalu dekat dengan wilayah tangkap mereka, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan di laut. Beragam suara itu menggambarkan ragam persoalan, dimana nelayan kecil terus berhadapan dengan birokrasi dan kebijakan yang tidak berpihak sehingga mereka harus berjuang keras untuk mendapat perlindungan dan ruang hidup yang adil di lautnya sendiri.

Arif menegaskan, perjuangan Serikat Nelayan Indonesia tak berhenti di audiensi, organisasi ini akan terus memperkuat kapasitas anggotanya di berbagai daerah, agar nelayan mampu berdaya dan menentukan arah hidupnya sendiri. SNI juga mendesak KKP agar mengimplementasikan Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam bukan sekadar sebagai teks hukum, tapi sebagai komitmen politik negara terhadap rakyat pesisir.

(Noor Chasanah-KR53 Broadcast)