“Kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar cerita pribadi, melainkan cermin kegagalan sistemik”. Itulah benang merah dari diskusi publik bertema “Kerentanan dan Perjuangan Korban dan Penyintas: Dari Kekerasan Seksual hingga Ekstraktivisme” yang digelar via Zoom pada 17 September 2025 pada event Kartini Conference on Indonesian Feminism (KCIF 2035). Tiga narasumber dengan latar belakang berbeda berbagi pengalaman, analisis, dan refleksi terkait realitas kekerasan yang dialami perempuan, serta perjuangan untuk memperoleh keadilan dan ruang aman.
Laksmi Shitaresmi, seorang penyintas sekaligus pekerja seni yang selama 18 tahun pernikahan hidup dalam lingkaran kekerasan baik fisik, emosional, seksual, hingga finansial. Saat berusaha mencari keadilan, justru laporan kasusnya tak pernah ditangani. Ia diusir warga, dijauhi keluarga besar, bahkan disingkirkan dari dunia seni tempatnya berkarya.
Tak berhenti di situ, Ia juga menjadi korban fitnah dan penyebaran foto pribadi oleh mantan suami. Hidup semakin sulit, anak-anak harus bertahan dengan segala keterbatasan, sementara budaya patriarki dan sistem kasta dalam seni terus menghalangi jalannya untuk bertahan hidup.
Meski kerap dihujat, ia tetap berani bersuara lewat media sosial, forum, dan tulisan. Dukungan datang, tapi belum cukup untuk mengembalikannya pada kemandirian.
Harapannya kedepan, selain dukungan emosional, informatif saran & bimbingan, perempuan korban kekerasan dan penyintas membutuhkan support system nyata berupa akses ekonomi, peluang kerja, dan ruang aman agar bisa hidup lebih mandiri dan berkelanjutan.
Sementara itu Noor Chasanah dari media komunitas Kicau Rakyat 53 Broadcast mengungkap jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Jombang meningkat tajam, dari 133 kasus pada 2023 melonjak jadi 222 kasus pada 2024. Di balik angka itu, ada kenyataan pahit bahwa 17% kekerasan seksual di lingkup keluarga dilakukan oleh ayah kandung atau tiri (Data Wcc Jombang 2022–2024).
Namun sistem perlindungan perempuan korban kekerasan masih lemah dan terfragmentasi. Layanan hukum, medis, psikologis, dan sosial bekerja sendiri-sendiri hingga berdampak korban harus mengulang trauma berkali-kali. Ditambah budaya patriarki, regulasi yang lemah pengawasan implementasinya, minimnya anggaran serta aparat tanpa perspektif gender yang justru menyalahkan korban (reviktimisasi)
Di tengah situasi itu, KR53 Broadcast hadir sebagai ruang aman untuk mengangkat suara terkait isu kekerasan perempuan, memberi edukasi publik, serta berperan sebagai media advokasi untuk mendorong terjadinya perubahan sosial dan ketegasan hukum yang mampu memberikan keadilan bagi korban kekerasan.
Sahat Farida, M.Kesos., seorang paralegal yang juga mantan anggota DPR, menyoroti berliku-likunya proses hukum dalam kasus kekerasan seksual di Polresta Depok. Ia menegaskan bahwa korban seringkali menghadapi hambatan berlapis: dari proses pelaporan yang penuh birokrasi, stigma sosial yang mengikis keberanian korban, hingga minimnya koordinasi antar lembaga layanan. Menurutnya, perjuangan korban bukan hanya soal keberanian untuk bersuara, tetapi juga soal bagaimana sistem mampu atau gagal memberikan perlindungan dan keadilan.
Diskusi ini seharusnya tidak berhenti pada testimoni, melainkan menjadi pemantik untuk membaca persoalan secara lebih tajam. Kita tidak bisa terus-menerus menggantungkan harapan pada keberanian korban untuk bersuara. Negara, komunitas, dan masyarakat luas harus memikul tanggung jawab kolektif.
Tanpa pembenahan sistem hukum yang berpihak, tanpa dukungan sosial yang berkelanjutan, dan tanpa kesadaran bahwa isu kekerasan terhadap perempuan sebagai isu krusial yang harus segera ditindaklanjuti bersama semua elemen masyarakat maka korban akan terus berjuang sendirian. (Noor Chasanah-KR53 Broadcast)