BRKS

Ecofeminist Praxis: Mendorong Keadilan Iklim yang Berkeadilan Gender dan Inklusif

Magetan, 31 Juli 2025 — Sebuah diskusi panel yang hangat dan mendalam berlangsung di Magetan, Jawa Timur, dengan tema “Ecofeminist Praxis: Keadilan Iklim dan Interseksionalitas.” Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 25 peserta dari berbagai organisasi masyarakat sipil di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY. Diskusi Panel ini diselenggarakan oleh kolaborasi 5 NGO diantaranya Triple F, BRKS, Equalita, LKTS dan LMIH yang diharapkan bisa menjadi ruang penting untuk meninjau ulang pendekatan dalam perjuangan keadilan iklim melalui lensa feminisme ekologis dan interseksionalitas.

Adetya Pramandira, aktivis muda ekofeminis dari Semarang, membuka diskusi dengan menekankan pentingnya pendekatan interseksional dalam isu perubahan iklim. Ia menyatakan bahwa masyarakat terdampak tidak bisa disederhanakan ke dalam satu kategori identitas. “Dampak perubahan iklim saling beririsan: ada dimensi gender, kelas, ras, hingga kelompok minoritas seperti difabel dan LGBT. Maka strategi advokasi juga tidak bisa satu formula, harus kontekstual dan interseksional,” tegasnya.

Nukila Evanty, Ph.D., seorang aktivis hak perempuan dan pendiri Inisiasi Masyarakat Adat, membagikan pengalamannya selama mendampingi komunitas adat di berbagai wilayah Indonesia. Ia menyampaikan bahwa perempuan adat tidak hanya menjadi korban paling rentan dari krisis iklim, tetapi juga penyintas yang terus berjuang mempertahankan ruang hidupnya, meskipun menghadapi banyak keterbatasan. “Di banyak komunitas yang saya dampingi, perempuan selalu berada di garda depan saat terjadi bencana ekologis, mulai dari gagal panen, krisis air, hingga kebakaran hutan. Tapi saat musyawarah desa atau perencanaan pembangunan, mereka justru tidak diajak bicara. Mereka minim akses terhadap informasi dan pengetahuan, tidak diberi ruang berpartisipasi, serta terbatas dalam mengakses sumber daya seperti tanah dan dana desa,” ungkapnya. Lebih lanjut Ia menyampaikan bahwa sebelum merancang program atau intervensi sosial, organisasi masyarakat dan pemerintah harus terlebih dahulu memetakan: siapa yang paling terpinggirkan, bagaimana krisis berdampak secara spesifik pada kelompok tersebut, dan strategi apa yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.

Sementara itu, Khalisah Khalid dari Greenpeace Indonesia menyoroti masih maskulinnya gerakan lingkungan yang terjadi di lapangan. “Keadilan iklim tidak bisa dilepaskan dari keadilan gender. Banyak perempuan adat yang mempertaruhkan hidupnya demi melindungi hutan, karena relasi mereka dengan alam sangat erat seperti relasi dengan tubuhnya sendiri. Pengalaman perempuan menjaga hutan adalah bentuk pengetahuan yang seharusnya menjadi bagian dalam kebijakan publik,” katanya.

Muhammad Al Amin dari WALHI Sulawesi Selatan berbagi pengalaman personalnya mengenai pentingnya pendekatan interseksional. Ia menyebut bahwa krisis iklim adalah dampak langsung dari keserakahan industri dan negara-negara maju penghasil emisi. “Yang paling bertanggung jawab atas krisis iklim adalah pelaku industry”, namun, yang paling terdampak justru adalah kelompok masyarakat paling rentan yaitu perempuan dan anak juga kelompok minoritas. Maka tugas kita adalah mendengar dan bergerak bersama mereka dengan kesadaran struktural dan pendekatan/strategi interseksional,” tegasnya.

Diskusi ini menjadi ruang belajar bersama yang menggarisbawahi bahwa perjuangan menghadapi krisis iklim tidak bisa dilepaskan dari perjuangan melawan ketimpangan struktural, termasuk ketimpangan gender. Ecofeminisme hadir sebagai tawaran praksis yang tidak hanya menyoroti kerusakan alam, tetapi juga mengadvokasi keadilan sosial dan keberlanjutan yang inklusif. (Noor Chasanah – BRKS)