BRKS

DEMO-KRASi SUARAKAN KEADILAN, PESAN DARI ALIANSI INKLUSI JOMBANG

Ketika demokrasi prosedural pemilu dan pilkada yang bertujuan menghasilkan pemimpin (presiden, gubernurn bupati) yang ideal dan lembaga keterwakilan (DPR) yang bisa menjadi fungsi kepanjangan aspirasi rakyat  telah gagal dihadirkan; krisis ekonomi akibat salah urus keuangan (fiskal) nampak tak ada harapan (ada kegemukan kabinet, ada pemborososan dan kebocoran) di tengah kesulitan ekonomi rakyat  sementara dewan perwakilan rakyat sudah menjadi lembaga stempel eksekutif walaupun jauh dari aspirasi dan kepentingan rakyat

Kekecewaan terus memuncak dengan melihat lambatnya penegakan hukum terhadap koruptor, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, sementara bamyak sekali pejabat eksekuif maupun legislatif pamer kekayaan (flexing) mempertontonkan ketimpangan secara nyata antara rakyat yang memberi mandat kuasa di cekik dengan kenaikan pajak sementara pemegang amanah mandatnya menghianatinya dengan gelimang harta dari pajak rakyat, inilah mulamya menggambarkan cara berfikir sederhana melihat situasi saat ini kenapa demokrasi kita tidak sedang menuju cita cita bersama bangsa ini mendirikan Negara repuplik Indonesia.

Untuk merespon situasi kegaduhan politik yang terjadi saat ini, pada Rabu, 3 September 2025, Aliansi Inklusi Jombang bersama WCC Jombang menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Anak Muda Jaga Demokrasi: Membangun Kesadaran Hak Hukum untuk Ruang Publik yang Aman dan Inklusif.” Kegiatan ini mempertemukan beragam organisasi kepemudaan, pemerhati isu sosial-politik, serta tokoh masyarakat sipil dalam satu ruang dialog yang hangat, kritis, dan partisipatif.

Dalam diskusi tersebut 4 organisasi ekstra kampus hadir sebagai pemantik: PMII, HMI, GMNI, dan IPPNU. Mereka menyampaikan refleksi tentang peran generasi muda dalam menghidupkan demokrasi yang inklusif. Hadir pula Direktur WCC Jombang, Ana Abdillah, dan Koordinator Lingkar Indonesia untuk Keadilan, Aan Anshori, sebagai penanggap yang memberikan perspektif tajam mengenai situasi demokrasi, keadilan sosial, advokasi gender serta dinamika politik nasional.

Para pemantik diskusi menyoroti bahwa demokrasi di Indonesia kerap dipahami sebatas penyelenggaraan pemilu atau pilkada. Padahal, demokrasi sejati seharusnya menjamin kebebasan berpendapat, keterlibatan publik, dan keadilan sosial. Realitasnya, ruang kritik masih sering dibatasi dengan represi aparat, intimidasi, hingga polarisasi politik yang kian tajam.

Daffa dari GMNI menekankan pentingnya ruang kritik yang sehat, sementara Asrorudin dari PMII mengingatkan bahwa demokrasi adalah anugerah yang kini justru terancam oleh polarisasi dan lemahnya kepemimpinan moral. Furqon dari HMI melihat korupsi dan degradasi moral elit sebagai penyakit utama demokrasi, dan Sasmita dari IPPNU menyoroti minimnya pendidikan politik di sekolah yang membuat banyak anak muda tumbuh apatis.

Sementara itu Aan Anshori mengingatkan bahwa kehadiran generasi muda dalam forum publik adalah bukti kapasitas kritis yang tidak boleh diremehkan. Namun, ia juga menyoroti bahaya demokrasi yang berhenti di level prosedural tanpa substansi. Di tingkat lokal, relasi patronase antara kekuasaan dan tokoh agama membuat kritik sulit berkembang.

Sementara itu, Ana Abdillah menyoroti wajah baru demokrasi yang tidak lagi cukup ditopang oleh konsep trias politica. Kehadiran lembaga independen seperti KPK dan Komnas HAM menjadi koreksi penting, meski belum sepenuhnya efektif. Ia juga menekankan ancaman serius dari hoaks, disinformasi, hingga penyalahgunaan teknologi deepfake. Menurutnya, kekerasan tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga hadir lewat kebijakan diskriminatif. “Suara kritis bukan ancaman, melainkan napas bagi demokrasi yang sehat,” tegasnya.

Diskusi ini juga memunculkan pandangan dari peserta. GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) menegaskan bahwa menjaga demokrasi adalah perjuangan seluruh rakyat, bukan hanya elit politik. Dari Ruang Aman Anak Muda Setara muncul kegelisahan tentang bagaimana publik lebih fokus pada kekacauan dalam aksi ketimbang substansi tuntutan. PMII menambahkan, perjuangan demokrasi tidak bisa hanya dibebankan kepada anak muda, melainkan harus menjadi kerja kolektif lintas generasi.

Diskusi publik ini menegaskan bahwa menjaga demokrasi bukan sekadar tanggung jawab elit politik, melainkan juga masyarakat sipil, terutama generasi muda. Demokrasi hanya akan hidup bila ruang kritik dijaga, literasi publik diperkuat, dan keberanian berpihak pada keadilan tidak pernah padam.

Semangat anak muda dari berbagai latar belakang yang hadir di forum ini menjadi pengingat kita semua bahwa demokrasi bukan hanya prosedur, melainkan juga substansi. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mampu menghadirkan ruang publik yang aman, inklusif, dan berkeadilan bagi semua. (Noor Chasanah-KR53 Broadcast)