Bencana banjir dan tanah longsor dahsyat terjadi di Sumatera, publik hari ini meresponnya dengan paradigma tidak sebagai takdir melainkan sebagai akibat dari persoalan struktural yang kompleks. Pergeseran respon ini bukan muncul secara tiba tiba, ruang digital membentuk pola pikir publik yang tidak lagi tunduk pada tafsir tunggal tentang musibah yang memposisikan agama sebagai candu penenang.
Arus informasi yang masif berjalan real time mengabarkan kondisi di lokasi, data geologi, data kegiatan ekonomi ekstraksi yang mengeskploitasi hutan, rekam jejak izin tambang, pola alih fungsi lahan, kelalaian tata ruang, semuanya tampil di publik setara dengan narasi religius. Hal ini bukan merupakan bentuk gejala sekularisme, justru merupakan tanda bahwa publik telah memiliki penalaran dalam bangunan kesadaran untuk membaca bencana banjir dan tanah longsor sebagai teks sosial yang bisa dicari akar masalahnya, ini merupakan suatu hal yang progresif. Publik hari ini belajar bahwa bencana merupakan akibat dari persoalan struktural alih alih ujian metafisik.
Hal itu sesuai dengan firman Allah QS Ar-Ra’d 11: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Ayat ini memosisikan perubahan sosial sebagai hasil ikhtiar manusia. Bencana dapat dibaca melalui sebab-akibat yang dikerjakan manusia sendiri. Respons kritis publik bukan sekularisme, tetapi kesadaran bahwa realitas bergerak dengan hukum kausal yang juga diakui wahyu. Selain itu di QS Ali Imran 190–191 juga sangat jelas menempatkan fenomena alam sebagai objek tafakkur. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang berakal. (Yaitu) mereka yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring, lalu mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi…” Ayat ini tidak mendorong pasrah, tetapi membaca kejadian sebagai tanda yang mesti dipikirkan. Membawa bencana ke ranah analisis sebab-akibat adalah kelanjutan logis dari perintah ini.
Di era post-modern ini, otoritas tunggal dalam menjelaskan realitas telah runtuh. Akses terhadap pengetahuan bersumber dari banyak kanal, diverifikasi silang, diperdebatkan terbuka. Media sosial yang masif mempercepat produksi kesadaran kolektif bahwa penderitaan tidak lahir dari misteri takdir belaka, melainkan dari keputusan politik, ekonomi ekstraktif, dan kegagalan mitigasi. Kritik massal di timeline adalah tanda masyarakat yang memandang bencana sebagai teks sosial yang bisa ditelusuri sebabnya, bisa disanggah, bisa dikoreksi, diprotes, dan diperjuangkan dalam jejaring solidaritas sosial gerakan netijen. Mari terus kita suarakan agar bencana di Sumatera segera ditetapkan sebagai bencana nasional!!!
Eksploitasi sumber daya seperti nikel, hutan lahir dari paradigma yang memandang alam sebagai instrumen pertumbuhan. Logika kebijakan pemerintah tampaknya masih dalam kerangka industri 4.0, yakni ketika teknologi dijadikan akselerator ekstraksi, bukan kebijakan sebagai korektor relasi manusia dan lingkungan. Alam ditempatkan sebagai objek yang bisa dikeruk, seolah nilai hanya terletak pada mineral yang dapat ditambang. Keranjingan nikel menjadi simptom, bahwwa pembangunan dirumuskan sebagai percepatan produksi, alih alih fokus pada keberlanjutan ekologi.
Kemajuan tidak mensyaratkan gergaji di hutan dan lubang tambang di perut bumi. Singapura tumbuh menjadi pusat finansial global dengan nyaris tanpa sumber daya alam, Jepang memulihkan diri dari perang lewat inovasi dan disiplin teknologi, Korea Selatan membangun industri kreatif dan manufaktur bernilai tinggi yang diekspor ke dunia. Negara dengan penduduk terbesar keempat memiliki modal serupa: kecerdasan kolektif, keterampilan rakyat, UMKM dan ekonomi kreatif yang lahir dari kampung, pasar, bengkel kecil, dan studio seni. Pertumbuhan dapat ditarik dari bawah melalui pengetahuan, desain, riset, pertanian organik, pariwisata berbasis komunitas, manufaktur kreatif, dan industri teknologi tepat guna. Nilai tambah muncul dari otak dan imajinasi, bukan dari kerusakan tanah yang seharusnya diwariskan utuh.
Padahal arah peradaban dunia telah bergerak ke paradigma post-antroposentris. Bruno Latour membalik oposisi manusia – non manusia dan menempatkan keduanya dalam jejaring aksi. Donna Haraway telah berfikir untuk menolak jarak moral antara manusia dan spesies lain, menuntut ko-evolusi bukan dominasi. Byung Chul Han sudah mengingatkan bahwa teknologi menghasilkan percepatan yang membakar energi sosial dan ekologis tanpa henti. Sementara Wapres Gimbrang masih suka pidato euforia AI, seolah kecerdasan buatan menyelesaikan persoalan mendasar, padahal substansi krisis justru pada relasi timpang manusia dan alam. Mesin canggih tidak menebus tata kelola cacat Cak! AI tidak bsia menggantikan etika ekologis.
Penyebab bencana dahsyat di Sumatera masih dikaji oleh para ahli secara pasti, semoga segera terkuak! Di hadapan lumpur yang menelan rumah dan sungai yang menyeret tubuh-tubuh tanpa pamit, bangsa ini memegang hutang yang tak bisa dibayar dengan harga apapun, setiap nyawa yang hilang menjadi huruf pada batu ingatan, menggoreskan pelajaran bahwa hutan bukan tanah kosong untuk dieksploitasi, melainkan gendongan Ibu Pertiwi yang memanggul kita sejak dulu kala.. Semoga kelak, dari puing dan deras air itu, lahir kesadaran yang lebih keras daripada besi, bahwa merawat alam bukan belas kasihan atau romantisme picisan, melainkan kewajiban setara menulis masa depan dengan tangan yang tak lagi angkuh pada pohon, gunung, dan air.. Al-Fatihah untuk seluruh korban.(Ditulis oleh Dandy Fisabilillah)#PrayForSumatera
