BRKS

“Manifesto Generasi Z, Dari Angan Angan Abstrak Menuju Gerakan Perubahan”

Generasi Z tumbuh di era liquid identity, sebuah kondisi ketika identitas sosial, politik, maupun kultural bersifat lentur, cair, dan adaptif. Mobilitas digital, keterhubungan global, serta akses pada arus informasi instan membentuk generasi yang lebih terbuka terhadap perbedaan, namun sekaligus kritis terhadap struktur kekuasaan yang jumud dan usang. Manifesto Gen Z bukanlah suatu dokumen tunggal yang kaku seperti manifesto politik yang sudah sudah, melainkan sebagai serangkaian orientasi nilai yang harus terus dinegosiasikan di ruang publik digital maupun ruang aksi nyata.

Kalau boleh berangan-angan, menurut saya yang pertama dibahas adalah ekonomi. Modal adalah darah dalam urat nadi peradaban. Gen Z tampaknya harus mengedepankan, memaksimalkan kemandirian secara kolaboratif ekonomi berbasis kreativitas seperti yang telah banyak dilakukan kawan-kawan hebat. Gerakan ekonomi kreatif dan industri digital lahir sebagai perlawanan terhadap dominasi kapitalisme lama yang hierarkis. Kita perlu mengartikulasikan kedaulatan ekonomi secara kongkrit melalui start-up culture, gig economy, serta inovasi berbasis teknologi, yang memberi ruang pada fleksibilitas dan otonomi individu. Ini sudah banyak terjadi, star up sudah banyak tumbuh dimotori Gen Z, disamping inovasi manajemen distribusi kolaborasi seperti freenchese dll (hasil dari ketimpangan meritokrasi, Gen Z semakin kreatif mandiri. (dengan tidak menganggap persoalan meritokrasi adalah sepele, harus terus dilawan sampai mampus)).

Kedua, menurut saya Gen Z perlu menegaskan politik partisipatif yang horizontal sebagai prinsip. Dalam lanskap global, kita melihat peran signifikan Gen Z dalam demonstrasi besar di Bangladesh, Nepal, dan berbagai negara lain, yang menolak oligarki politik serta mendorong sistem yang lebih transparan. Bentuk pengorganisirannya diskursif cair tanpa hirarki ketat, mengandalkan jejaring sosial dan solidaritas digital. Politik bagi Gen Z bukan sekadar arena elektoral, melainkan praksis sehari-hari yang bisa dilakukan lewat boikot konsumen, kampanye isu, hingga hashtag movement.

Ketiga, Gen Z sangat perlu membawa agenda keberlanjutan dan keadilan sosial. Gen Z dalam konsesus sosial yang terbangun di medsos memiliki kecenderungan menolak narasi pembangunan yang eksploitatif terhadap alam dan menuntut model keberlanjutan yang berkeadilan antar generasi, ini keren. Di saat yang sama, Gen Z juga menolak segala bentuk diskriminasi berbasis gender, kelas, etnis, maupun agama (isu SARA apalagi PKI hanya jadi bahan ketawaan Gen Z). Identitas cair yang semakin hidup membuat batas-batas eksklusifitas sosial lama dianggap tidak relevan. Lambat Laun paradigma konservatis akan hilang ditelan algoritma sosial yang dikuasai Gen Z.

Keempat, Gen Z bergerak menjadikan ruang digital sebagai basis perjuangan. Internet bukan hanya medium komunikasi, melainkan ruang artikulasi politik dan eksperimentasi identitas. Dari meme warfare hingga digital activism, Gen Z menggeser locus perlawanan dari jalanan semata ke ruang virtual yang lebih masif jangkauannya. Ini sudah sangat masif terjadi, kontra terhadap narasi tunggal dan counter attack terhadap buzzer destruktif semakin banyak dilakukan secara diskursif dan menang.

Manifesto Gen Z adalah manifesto tentang keterbukaan, kreativitas, dan resistensi terhadap struktur lama. Namun, di balik itu, ia merupakan pola patriotisme aktual kontemporer, sebuah mitsaqan ghaliza yang tidak lagi melulu bersandar pada simbol-simbol kebangsaan lama, tetapi pada kesadaran kritis atas makna keberpihakan di tengah dunia yang terfragmentasi. Manifesto yang dilahirkan bukan sekadar proklamasi generasi, melainkan cermin dari pergeseran paradigma politik global, dari struktur ke jejaring, dari identitas beku ke identitas cair, dari wacana elitis ke suara publik yang terdesentralisasi. Ia adalah upaya menegakkan cinta tanah air dalam format baru, cinta yang lahir dari kesadaran, bukan dari kultus.

(Ditulis oleh Dandy Fisabilillah)