Pertanian adalah urat nadi kehidupan masyarakat Indonesia. Dari sawah dan lahan pertanian, kerja keras petani memenuhi kebutuhan pangan kita setiap hari. Namun di balik peran vital itu, posisi petani kian rapuh, lahan terus menyusut, harga panen tak menentu dan kebijakan pemerintah seringkali masih abai melindungi kehidupan petani.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepertiga tenaga kerja di Indonesia masih menggantungkan hidup di sektor pertanian. Pertanian bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga budaya, diantaranya tradisi gotong royong, kearifan lokal mengolah lahan, hingga upacara adat. Sayangnya, di balik kontribusi itu, tantangan demi tantangan terus menghimpit petani.
Kabupaten Blitar dikenal sebagai daerah agraris. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani penggarap, buruh tani, atau pelaku usaha kecil di sektor pangan. Namun beberapa tahun terakhir, keberlanjutan pertanian di Blitar dihadapkan pada masalah serius seperti maraknya alih fungsi lahan ke perumahan, industri, hingga infrastruktur. Sebagai konsekuensinya maka risiko ketergantungan pangan dari luar daerah kian besar. Apalagi di tengah krisis iklim dan fluktuasi harga pangan global, ketahanan pangan lokal pun menjadi semakin rapuh.
Keresahan itu juga dirasakan oleh wakil rakyat setempat, Suwondo, anggota Komisi II DPRD Kabupaten Blitar, mengungkapkan bahwa sekitar 70% penduduk Blitar hidup dari sektor pertanian. Ia menyoroti persoalan klasik yang dihadapi petani seperti minimnya bantuan alat, terbatasnya tenaga kerja, tidak adanya stabilitas harga, dan belum adanya upaya mitigasi yang dilakukan petani untuk mengatasi adanya perubahan iklim. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa Blitar sudah memiliki Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) No. 13 Tahun 2019, namun hingga kini belum ada Peraturan Bupati sebagai turunan. Akibatnya, perda ini tidak bisa dieksekusi secara teknis,
Menanggapi pertanyaan terkait Perbup Perlintan yang hingga kini belum ada, Bupati Blitar, Drs. Rijanto M.M. dalam forum Jagong Petani Multipihak, 24 September 2025 mengatakan, bahwa seharusnya Perbup tersebut sudah terbit pada masa Bupati sebelum dia menjabat, namun karena Ia yang menjabat sebagai Bupati saat ini maka Ia berkomitmen untuk segera berkoordinasi dengan dinas terkait dan DPRD untuk menindaklanjuti terbitnya Perbup Perlintan di kabupaten Blitar. Selain persoalan Perbup, Ia juga mengakui masih banyak persoalan mendasar yang membelenggu sektor pertanian seperti minimnya generasi muda yang mau terjun ke dunia pertanian, terbatasnya sarana dan prasarana, serta masih lemahnya penerapan panca usaha tani.
Sementara itu Muhammad Nuruddin yang akrab dipanggil Gus Din selaku Sekjen Aliansi Petani Indonesia (API), mengingatkan bahwa persoalan pangan adalah soal hidup matinya negara seperti sebuah ungkapan “Petani adalah tuannya negara, kuasanya nyata. Oleh sebab itu hak mereka atas tanah harus dipenuhi. Selain itu konversi lahan pertanian yang semakin marak seharusnya bisa dicegah dengan tata kelola pemerintahan yang baik, ungkap Gus Din.
Sedangkan Naning Suprawati, Koordinator API Jawa Timur, juga mengingatkan tentang pentingnya pertanian keluarga. Mengutip data FAO 2014, ia menyebut 80% pangan dunia justru dihasilkan dari pertanian keluarga. “Pertanian keluarga bukan hanya soal ekonomi. Ia adalah sistem sosial dan budaya yang menopang pangan, ekonomi, dan lingkungan hidup. Itu sebabnya, keberlanjutannya wajib dilindungi oleh seluruh pihak. Naning juga menyoroti keberadaan Perda Perlintan di Blitar yang sebenarnya bisa menjadi tonggak perlindungan petani, namun, tanpa adanya Peraturan Bupati sebagai payung teknis, semua itu hanya berhenti di teks hukum.
Pada peringatan Hari Tani Nasional 2025 ini, menjadi pengingat bahwa reforma agraria bukan sekadar slogan, melainkan kebutuhan mendesak. Bahwa kedaulatan pangan tidak akan pernah terwujud tanpa keberpihakan nyata kepada petani. Peringatan ini sekaligus menjadi moment untuk memperkuat komitmen semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, akademisi, hingga media, dalam memperjuangkan hak-hak petani.
Di Blitar, dan di banyak daerah lain, para petani terus menunggu langkah serius dari pemerintah. Mereka tidak menunggu belas kasihan, tetapi keadilan yaitu tanah yang terlindungi, harga yang layak, dan kebijakan yang berpihak.
Hari Tani Nasional kali ini mengajak kita kembali merenung, apakah negeri agraris ini benar benar berdiri di atas fondasi pertanian yang kokoh? Ataukah kita hanya sedang berjalan di atas tanah yang perlahan lahan akan hilang? (Noor Chasanah-KR53 Broadcast)