Cirebon, 6–7 September 2025 – Diskusi publik dan konferensi pers bertajuk “Peran Perempuan & Kaum Muda dalam Pertanian Keluarga Menuju Sistem Pangan Berkelanjutan” menghadirkan beragam perspektif mengenai tantangan dan peluang sektor pangan di Indonesia. Acara ini digelar di Saung Wangsakerta, Cirebon, dengan dukungan Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) bersama Yayasan Wangsakerta, serta dihadiri oleh perwakilan organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga anggota DPR RI.
Sekjen KNPK, Ika N.Krisnayanti, dalam sambutannya menegaskan bahwa pertanian keluarga menyumbang sekitar 80% pasokan pangan dunia. Meski kontribusinya besar, namun pertanian keluarga kerap terpinggirkan dalam kebijakan pangan nasional. Indonesia, melalui KNPK, menjadi salah satu contoh negara yang diakui PBB dalam mengarusutamakan pertanian keluarga ke dalam kebijakan publik, termasuk lewat penyusunan RAN PK bersama Bappenas.
Dalam diskusi tersebut Naning Suprawati dari Aliansi Petani Indonesia di Blitar berbagi pengalamannya dalam mengorganisir petani di Blitar Selatan melalui budidaya padi dan ikan koi (digitalisasi agri/aquakultur). Dengan memanfaatkan digital marketing, anak muda diajak terlibat dalam pertanian. Perempuan berperan penting dalam proses sortir dan pengelolaan, sementara event budaya dijadikan strategi untuk menarik buyer langsung ke desa. Hasilnya, jaringan pasar terbuka, harga produk petani lebih baik dan desa mulai membangun ekosistem pangan berkelanjutan. Menurut Naning, perempuan dan kaum muda adalah komunikator utama yang mengerakkan kebelanjutan pertanian dan pangan keluarga di masa yang akan dating.
Sementara itu Bibong Widyarti dari Yayasan Alifa menekankan pentingnya perempuan dan pemuda sebagai kunci kemandirian pangan. Ia mengingatkan bahwa banyak pangan lokal bergizi seperti kelor dan sukun justru terabaikan. Perempuan berperan menjaga gizi keluarga, sementara kaum muda membawa inovasi dan teknologi. Dengan langkah kecil yang dimulai dari kebun di pekarangan rumah, diversifikasi pangan dan berbagi pengetahuan tentang pertanian keluarga bisa menjadi solusi gizi sekaligus kemandirian keluarga.
Narasumber lainnya Nissa Wargadipura, Pimpinan Pesantren Ekologi At-Thoriq di Garut menegaskan, bahwa perempuan memiliki pengetahuan rahmatan lil alamin yang penting bagi pangan, namun sering ter-sub ordinat dan terpinggirkan dalam kebijakan pemerintah. Ia menambahkan, bahwa perempuan adalah korban dari adanya revolusi hijau dan revolusi industri yang mengikis keanekaragaman hayati dan membuat perempuan kesulitan mengakses pangan sehat. Oleh sebab itu perlu membangun gerakan ekofeminisme dan perempuan sebagai pusat pengetahuan tindakan penyelamatan alam dari kerusakan. KNPK harus mendesakkan kebijakan kebijakan yang mendorong kepemimpinan perempuan pada komunitas komunitas lokal yang melindungi keanekaragaman hayati. Gerakan perempuan harus kontekstual, tajam dan fokus pada persoalan perempuan, ungkap Nissa.
Sedangkan Farida Mahri dari Wangsakerta menggambarkan realitas perempuan desa yang bertahan dengan pengetahuan tradisional di tengah tantangan ekonomi. Lebih dari 60% penghasilan rumah tangga habis untuk pangan, bahkan di desa pertanian sehingga diperlukan mekanisme gotong royong pangan di tingkat kampung. Ia mengusulkan dapur umum berbasis komunitas untuk suplai pangan keluarga tanpa uang, sekaligus mengajak masyarakat menghitung pengeluaran agar lahir kesadaran kolektif. Data lapangan menunjukkan, meski sebagian besar pelaku pertanian di Cirebon adalah perempuan, struktur organisasi tani masih didominasi laki-laki, termasuk kepemilikan lahan.
Turut hadir diskusi anggota DPR RI Komisi VIII, Selly Andriany Gantina yang menyoroti lemahnya dukungan kebijakan pemerintah terhadap regenerasi petani dan keterlibatan perempuan. Menurutnya, perlu perubahan mindset bahwa bertani bisa bernilai jika ada hilirisasi dan kolaborasi lintas sektor dari BUMDes, koperasi, CSR, hingga marketplace. Ia menekankan perlunya kebijakan antisipatif, literasi keuangan, serta penguatan peran perempuan dan pemuda untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Selly juga menegaskan pentingnya revisi UU Pangan dan UU Kehutanan agar memasukkan peran perempuan dan kaum muda secara eksplisit. Ia juga mendorong pemerintah desa dan daerah memperkuat cadangan pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan impor beras.
Dalam rangkaian forum diskusi tersebut juga dilakukan Konferensi pers yang menghasilkan beberapa poin desakan utama sebagai berikut:
- Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat cadangan pangan masyarakat berbasis pertanian keluarga.
- Perempuan dan kaum muda harus diakui sebagai aktor utama dalam produksi, distribusi, dan pengolahan pangan.
- Kebijakan pangan harus lebih berpihak pada desa, dengan mendorong hilirisasi produk, penguatan kelembagaan tani, serta kolaborasi antar sektor.
- Pengarusutamaan pertanian keluarga dalam RPJMN dan RPJMD diharapkan tidak sekadar fokus pada stabilisasi harga melalui Bulog, tetapi juga pemberdayaan petani kecil.
Acara ini menegaskan kembali kepada publik dan pemerintah bahwa kedaulatan pangan tidak bisa dicapai tanpa penguatan peran perempuan dan regenerasi petani muda. Pertanian keluarga bukan sekadar urusan desa, melainkan pilar utama untuk mewujudkan sistem pangan berkelanjutan di Indonesia. (Noor Chasanah – KR53 Broadcast)