Masyarakat-Pulau-Rempang-menggelar-aksi-Yogi-Eka-Sahputra-1200x800

Catatan Akhir Tahun: Kala Proyek Nasional Picu Pelanggaran HAM dan Rusak Lingkungan

Proyek strategis nasional (PSN) ciptakan banyak persoalan di lapangan. Alih-alih meningkatkan perekonomian, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan nasional, PSN justru membawa kesengsaraan. Dalam praktiknya, PSN kerap kali mengabaikan hak asasi manusia (HAM) dan menimbulkan masalah lingkungan.

Komnas HAM pun riset soal PSN. Hasilnya,  PSN menjadi sumber pelanggaran HAM, dengan setidaknya 114 aduan kasus yang ditangani di berbagai daerah. Pelanggaran itu meliputi hak untuk berpartisipasi, hak atas informasi, hak atas rasa aman, serta hak atas pekerjaan dan tempat tinggal yang layak.

Riset itu menyimpulkan, pembangunan PSN sering kali mengabaikan prinsip-prinsip HAM dalam hal tata kelola, pengadaan lahan, kerusakan lingkungan dan sumber daya alam (SDA), pengerahan aparat keamanan dan lembaga penegak hukum, serta tak ada mekanisme pengaduan dan pemulihan HAM.

Dari 114 aduan, pada 2020 sebanyak 34 kasus,  2021 ada 24 kasus, 2022 ada 29, dan 2023 sebanyak 27 kasus. Dari seratusan kasus itu, 95 terindikasi merupakan pelanggaran hak atas kesejahteraan dan lima kasus sebagai pelanggaran hak memperoleh keadilan.

Jumlah aduan itu merupakan bagian dari total 1.675 aduan dugaan pelanggaran HAM karena konflik agraria dan sumber daya alam yang Komnas HAM terima periode 2021-2023.

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM mengatakan, dari lima aspek dalam riset itu menjadikan PSN tidak hanya sebagai sarana pembangunan ekonomi juga sumber pelanggaran hak-hak dasar masyarakat.

Tata kelola PSN, katanya,  tidak memperhatikan HAM seringkali menjadi akar masalah pelanggaran. Penetapan PSN secara top-down dan eksklusif juga mengabaikan hak masyarakat dalam berpartisipasi secara bermakna saat perencanaan dan pelaksanaan proyek.

“Mulai dari penyusunan kebijakan, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), penetapan lokasi PSN, bentuk PSN sangat minim pelibatan masyarakat. Bahkan, beberapa PSN dibuat mendahului kebijakannya,” kata Anis saat berikan sambutan dalam peluncuran riset Desember ini.

Pada proses pengadaan lahan pun,  katanya, secara paksa, tanpa sukarela dan melibatkan aparat keamanan hingga menimbulkan konflik horizontal. Termasuk intimidasi, kekerasan, penggunaan kekuasaan berlebih, manipulasi, serta appraisal yang tidak independen. Ia bilang, warga sangat dirugikan.

Dia contohkan, dalam pembangunan PSN Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Bulungan, Kalimantan Utara, terjadi dugaan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan lahan. Pada 25 September 2024, seorang warga mengadukan kepada Komnas HAM terintimidasi dan dihalangi mengakses lahan yang berada di tengah kawasan KIHI.

Anis bilang, pengerahan aparat keamanan dan lembaga penegak hukum untuk mengamankan PSN yang masuk kategori objek vital nasional (Obvitnas) berisiko melanggar hak-hak masyarakat terdampak.

Berdasarkan PP No. 42/2021 dan Inpres No. 1/2016, katanya, memicu penggusuran paksa, khusus komunitas adat, petani, dan nelayan yang sering kehilangan tanah mereka.

Tak hanya itu, kata Anis, kerusakan lingkungan dan SDA akibat pembangunan PSN, seperti pencemaran air, udara dan deforestasi, menjadi masalah serius yang terabaikan pemerintah. Mekanisme izin lingkungan dan amdal seringkali hanya formalitas.

Dampak negatif ini tidak hanya merugikan masyarakat lokal, tetapi juga berkontribusi pada krisis iklim global dan menambah ketidakstabilan sosial dan ekonomi.

Pencitraan pembangunan ramah lingkungan oleh pemerintah tidak tercermin dengan kenyataan di lapangan. Proyek Rempang Eco City yang diklaim ramah lingkungan, nyatanya memmicu konflik, berdampak pada ekosistem dan bisa memperburuk krisis iklim.

Bukan hanya itu, tidak ada mekanisme pengaduan dan pemulihan HAM dalam pembangunan PSN menyebabkan pelanggaran HAM tidak dapat ditangani dengan baik. Hal ini berdampak kepada akuntabilitas dan transparansi dalam penanganan dampak PSN terhadap HAM.

“Jadi, standar merespons permasalahan dan mitigasi masalah dalam proses pembangunan PSN tidak disediakan pemerintah. Ini cukup merugikan masyarakat sekitar PSN,” katanya.

Dari riset itu, Komnas HAM menyimpulkan, dalam pembangunan PSN terjadi dugaan serangkaian pelanggaran HAM, terutama hak atas kesejahteraan, hak hidup, hak atas rasa aman, dan hak-hak kelompok rentan.

Memiskinkan masyarakat

Selain menjadi sumber pelanggaran HAM, Komnas HAM menemukan, PSN gagal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang inklusif. Daerah-daerah dengan proyek hilirisasi nikel, angka kemiskinan rata-rata justru lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan nasional.

Data BPS juga mengungkapkan, PSN hanya berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,9%, jauh dari target pemerintah 7% periode 2015-2023. Kondisi ini menunjukkan,  ketidaksesuaian antara harapan dan implementasi PSN.

Mimin Dwi Hartono, Koordinator penulis dalam riset Komnas HAM mengatakan, potret kemiskinan di daerah hilirisasi nikel itu antara lain karena penggunaan bahan baku impor. Baik tenaga kerja ataupun teknologi.  Kondisi itu membuat PSN tidak berdampak positif secara signifikan terhadap ekonomi.

Alih fungsi lahan produktif juga menjadi salah satu faktor. Sebab, banyak warga sekitar PSN terpaksa berhenti bertani atau beralih profesi  karena tak lagi ada lahan. Sisi lain, ada kesenjangan antara kebutuhan lapangan kerja di wilayah PSN dengan keahlian masyarakat.

“Hal ini kemudian menjadi faktor dari pertumbuhan ekonomi dari PSN tidak sesuai harapan. Banyak masyarakat kehilangan pekerjaan dan menjadi miskin di wilayah-wilayah yang ada PSN,” kata Mimin dalam peluncuran riset.

Dalam riset CELIOS dan CREA juga menemukan, proyek hilirisasi nikel mengakibatkan degradasi lingkungan serta berdampak pada penurunan manfaat ekonomi secara bertahap. Dampak ekologi dan biaya kesehatan para pekerja dan masyarakat lokal juga tidak dimitigasi sepenuhnya.

CREA memperkirakan kematian yang terkait dengan sektor ini akan meningkat secara signifikan, dari 215 kasus pada 2020 menjadi 3.833 kasus pada 2025, hampir 18 kali lipat dalam lima tahun. Tanpa intervensi berarti, sebut riset itu, kematian akan terus meningkat menjadi 4.982 pada 2030 dan 8.325 pada 2060, seiring pertumbuhan kapasitas produksi.

Rais Laode Sabania, Divisi Pendamping Hukum Rakyat (PHR) dari Perkumpulan HuMa mengatakan, meskipun pemerintah memiliki keinginan meningkatkan ekonomi melalui PSN, banyak pelanggaran HAM yang mengurangi kualitas hidup masyarakat.

Saat ini,  HuMa tengah penelitian serupa di lima pulau terbesar di Indonesia terkait dampak PSN dengan pendekatan partisipatif, yaitu free, prior, and informed consent (FPIC). Pendekatan ini memberikan hak kepada masyarakat adat untuk menyetujui atau menolak tindakan yang dapat mempengaruhi tanah, wilayah, atau hak mereka.

“Faktanya di lapangan, hasil riset sementara yang kami lakukan hampir serupa dengan temuan Komnas HAM, yaitu terjadi perampasan tanah akibat PSN yang bertentangan dengan tujuan proyek itu sendiri,” kata Rais kepada Mongabay.

Alih-alih meningkatkan ekonomi, katanya, PSN justru menciptakan kemiskinan baru dengan merampas ruang hidup masyarakat adat.

Wilayah yang jadi lokasi proyek bukanlah lahan kosong, melainkan tanah ulayat yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.

Janji PSN membuka lapangan kerja seluas-luasnya juga tidak solutif, karena tidak semua masyarakat adat terakomodir. Akibatnya, terjadi pergeseran budaya, dimana masyarakat adat seolah dipaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup.

Pembangunan PSN, kata Rais, berisiko merusak lingkungan dan ekosistem, serta mengancam keberlanjutan hidup manusia dan keanekaragaman hayati. Dampak negatif ini memperburuk ketidakstabilan sosial dan ekonomi, terutama bagi masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam.

“Prinsip FPIC dalam PSN harus dijalankan karena kejahatan pembangunan mulai dari kejahatan informasi. Jika keterbukaan informasi tidak ada sejak awal, hal itu pasti akan menimbulkan konflik.”

Picu konflik agraria

Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan,  PSN selalu menimbulkan konflik agraria. Banyak PSN yang dia nilai tidak memiliki legitimasi secara prosedural, terjadi maladministrasi dan tidak transparan, hingga memicu konflik.

Dia pun mendesak PSN dicabut. “Kenapa PSN ini layak untuk dicabut? Karena banyak yang sudah menimbulkan konflik agraria,” ucapnya kepada Mongabay, medio Desember lalu di Jakarta.

KPA mencatat, sepanjang 2020-2023, terdapat 134 letusan konflik terpicu PSN, seluas 571.156,87 hektar dan berdampak pada 110.066 keluarga. Hal itu menandakan,  kehadiran PSN merampas hak hidup masyarakat.

Selama dua dekade, pemerintah telah menetapkan 233 PSN dengan investasi Rp6.246 triliun. Terdiri dari 56 proyek bendungan irigasi, 48 jalan tol, 27 kawasan industri, dan 22 proyek bandara dan pelabuhan. Lalu, 17 proyek minyak dan gas bumi dan lainnya. Hingga Februari 2024, sebanyak 195 PSN dengan anggaran Rp1.519 triliun telah selesai.

Masalahnya, label PSN kini tak hanya diberikan pada proyek pemerintah, juga swasta.

Menurut Dewi, pelabelan itu semata untuk membuka jalan swasta menggeber proyeknya.

“Inilah bahayanya, kenapa? Karena ketika sudah dilabeli PSN, mulai APBN, regulasi, aparat, birokrat itu akan langsung eksekusi di lapangan tanpa melihat ada masalah sosial, ekonomi, masyarakat terdampak.”

Dewi mencontohkan,  kasus pengabaikan HAM dari pembangunan PSN di pesisir Tangerang seluas 1.705 hektar. Dengan label PSN, proyek bertajuk Tropical Coastland yang dibiayai Agung Sedayu Group (ASG) dan Salim Group, selaku pengembang PIK 2 itu menjadi dalih membebaskan lahan masyarakat dengan harga murah. Padahal, proyek itu untuk membangun kawasan perumahan premium, sebagaimana laman resmi perusahaan.

“Mereka nggak mau repot-repot, nggak mau bikin analisa dampak. Yang penting mereka menggunakan PSN untuk segera mengeksekusi dan mempercepat prosesnya, terlepas bahwa itu tumpang tindih dengan tanah masyarakat,” katanya.

Analisis Nex Policy, lahan rakyat yang mengalami penggusuran untuk pengembangan PIK 2 membentang sepanjang 30 kilometer. Bila diasumsikan dari tiga kilometer garis pantai sebagai daerah paling rentan penggusuran, perluasan proyek PIK 2 atas nama PSN berpotensi menggusur lebih dari 9.000 hektar lahan di 9 Kecamatan sepanjang pesisir utara Tangerang.

“Ironis. Ketika satu proyek itu dilabeli PSN, logikanya seharusnya harga tanah makin naik. Artinya, kalau masyarakat terpaksa harus melepaskan tanah, seharusnya ganti kerugian sepadan dong,” kata Dewi.

Yang terjadi justru sebaliknya. Temuan KPA, kata Dewi, harga tanah lebih murah seiring dengan nilai jual objek pajak (NJOP) yang tiba-tiba turun. Di Kecamatan Kemiri, misal, NJOP turun menjadi Rp48.000.

Dewi menduga, penurunan harga tanah yang diawali penurunan NJOP bagian dari kerja-kerja terorganisir. Ujungnya, masyarakat di tingkat tapak yang dirugikan lantaran tanah yang mereka punya dihargai rendah.

Persoalan lain, kehadiran PSN PIK 2 juga meyebabkan nelayan terisolir. Mereka kehilangan akses ke laut karena pengembang tidak hanya menguasai daratan juga pesisir. Hutan mangrove yang menjadi tempat tinggal biota laut juga hilang.

Muhammad Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Cipta Kerja beserta turunannya turut memperparah situasi.

“PSN ini bisa menjadi buruk karena bisa tidak patuh pada guidance-guidance atau safeguard-safeguard. Baik itu safeguard lingkungan hidup maupun safeguard soal human rights,” katanya dihubungi Mongabay 17 Desember 2024.

Pada akhirnya, praktik-praktik buruk yang terjadi tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran. “Melanggar asasi manusia, penggusuran, tidak memperhitungkan daya dukung daya tampung lingkungan, itu memang didesain begitu dalam konteks aturan yang berlaku.”

Iqbal mengatakan, aparat penegak hukum (APH) menjadi garda terdepan dalam keamanan PSN ini. APH pun akan mengambil langkah tegas bagi siapapun yang dianggap mengahalang-halangi PSN.

“Posisinya semacam ada impunitas pada negara. Jadi PSN ini memberikan impunitas pada proyek-proyek yang melanggar ketentuan-ketentuan yang sebenarnya dibuat negara sendiri, baik sisi lingkungan maupun HAM.”

Selain itu, kata Iqbal,  praktik PSN juga bertabrakan dengan misi-misi pemerintah soal mitigasi krisis iklim. Banyak PSN menjadi penyebab krisis iklim. Contoh, pembangunan PLTU batubara sampai pertambangan seperti nikel.

“Jadi PSN ini tidak hanya bermasalah dari sisi aturan karena memberikan impunitas, juga bermasalah dari sisi lingkungan atau dalam lingkungan bermasalah,” kata Iqbal.

Satrio Manggala, Manager Kajian Hukum Walhi  Nasional menuturkan, selama ini penetapan PSN tidak transparan, tanpa perhitungan jelas dan akuntabel.

“Kebijakan itu tentu nirpartisipasi masyarakat, baik partisipasi masyarakat secara langsung. Harusnya mereka mengkonsultasikan kepada daerah-daerah yang ditetapkan sebagai wilayah PSN,” katanya.

Karena itu, di banyak tempat, PSN selalu menyebabkan masalah di masyarakat. Dia contohkan, PSN Bendungan Bener dan penambangan batuan andesit di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, PSN bandara internasional di Kulonprogo,  PSN Pulau Buatan di Surabaya dan banyak lain.

Iqbal bilang, dalam peraturan soal PSN tidak dijelaskan mengenai indikator suatu proyek dilabeli PSN. Peraturan itu justru hanya menjelaskan soal kriterianya, antra lain, memiliki peran strategis, kesesuaian RTRW, membutuhkan dukungan dan atau jaminan pemerintah untuk KPBU. Lalu, keterkaitan antara sektor infrastruktur dan antar wilayah serta kesesuaian dengan RPJMN/RPJMD dan renstra sektor.

Kalau Indonesia ingin menuju Indonesia emas, seharusnya investasi yang didorong adalah peningkatan sumber daya manusia-. “Semua yang di PSN-kan seharusnya program yang berkaitan sama pendidikan, membangun seribu sekolah di pelosok-pelosok desa, misal,” katanya.

Satrio bilang, PSN akan selalu menimbulkan konflik dengan masyarakat kalau tak mementingkan aspek lingkungan hidup, sosial dan HAM. Catatan Walhi, sepanjang 2014-2024 terdapat 1.223 kriminalisasi masyarakat soal pembangunan.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, masyarakat pun dibuat tak berkutik dengan peraturan yang memudahkan PSN. Setiap area yang ditetapkan PSN, warga mau tak mau harus menyerahkan lahan.

“Itu pola perampasan lahan dengan dalih untuk kepentingan umum. Bahkan masyarakat menolak sekalipun tidak ada ruang bagi masyarakat untuk tetap mampu mempertahankan tanahnya karena ada mekanisme konsinyasi,” katanya.

Jamil bilang, masyarakat yang menolak tetap lahan akan digunakan untuk PSN dan mereka pun terpaksa angkat kaki.

Sedang ganti rugi ditetapkan pemerintah sesuai atau tidak akan dititipkan di pengadilan. “Warga yang menolak keras pun dikriminalisasi.”

Rekomendasi

Komnas HAM pun memberikan rekomendasi atas pelaksanaan PSN ini. Pemerintah, kata Anis,  perlu meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena sangat eksklusif, menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM yang terus berulang.

Pemerintah juga harus mengevaluasi mendalam dan partisipatif terhadap PSN yang telah berjalan serta menunda PSN yang akan datang.

“Evaluasi ini penting untuk menghasilkan laporan komprehensif tentang dampak-dampak PSN, yang akan menjadi dasar bagi pemerintah dalam merumuskan langkah dan kebijakan tindak lanjut,” kata Anis.

Pemerintah juga harus mengevaluasi proses penentuan dan penetapan daftar program PSN, terutama untuk memberikan kesempatan bagi semua pihak. Terutama yang terdampak, untuk terlibat dalam memberikan masukan.

“Pemerintah juga harus membangun mekanisme akuntabilitas dan pemulihan atas pelanggaran HAM sebagai dampak pembangunan PSN,” kata Anis.

Pemerintah juga harus menarik mobilisasi pasukan Polri dan TNI dalam pengamanan PSN, serta merumuskan ulang keterlibatan mereka secara proporsional dan sesuai kebutuhan. Selain itu, Polri dan TNI harus dibekali pemahaman HAM yang baik, dengan penekanan bahwa tugas mereka adalah melayani dan melindungi rakyat.

Berikutnya, kata Anis, pemerintah harus memastikan semua proyek PSN bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan kelompok atau kerabat. Ini sejalan dengan pidato Presiden Prabowo Subianto pada sidang MPR, 20 Oktober 2024. (*Sumber; mongabay.co.id)

Tags: No tags

Comments are closed.