Pemerintah Indonesia berencana membangun 100 Gigawatt [GW] pembangkit listrik, dengan 75 persen kapasitas dari energi terbarukan hingga 2040. Target tersebut, membutuhkan investasi mencapai USD235 miliar atau Rp3.710 triliun.
Rencana tersebut disampaikan Hashim S Djojohadikusumo, Ketua Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB/Conference of the Parties [COP] ke-29, di Baku, Azerbaijan [12/11/2024].
Pernyataan ini dinilai belum sepenuhnya selaras dengan target Perjanjian Paris dalam menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C yang menuntut transisi energi terbarukan lebih agresif.
Sebab, sebelumnya dalam perhelatan COP-28, Indonesia menyepakati keputusan COP untuk mencapai target pembatasan laju kenaikan temperatur dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat [triple up] dan menggandakan upaya efisiensi energi [double down] pada 2030.
Seharusnya, perjanjian tersebut dituangkan dalam target Kebijakan Energi Nasional [KEN], Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional [RUKN], dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik [RUPTL].
Demikian pernyataan Institute for Essential Services Reform [IESR] dalam rilisnya, Kamis [14/11/2024].
Meskipun memberikan catatan, IESR menyambut baik rencana pembangunan 75 GW pembangkit energi terbarukan oleh PT PLN, sebagai bagian komitmen Indonesia untuk mencapai target dekarbonisasi 2050.
Komitmen Lebih Serius
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyatakan Indonesia perlu menunjukkan komitmen lebih serius dan aksi nyata untuk mencapai target Perjanjian Paris.
Menurutnya, setiap rencana pembangunan energi terbarukan harus disertai strategi pengurangan bertahap [phase-down] dan penghapusan bertahap [phase-out] PLTU batubara paling lambat 2045, agar selaras dengan target pembatasan kenaikan temperatur 1,5 C. Dua upaya ini akan krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan dekarbonisasi sektor kelistrikan pada 2050.
“Selama ini, implementasi dari rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari harapan. Ini terlihat dari kegagalan Indonesia mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025,” kata Fabby.
Deon Arinaldo, Manajer Program Sistem Transformasi Energi, IESR, meminta Pemerintah Indonesia lebih fokus mengembangkan energi terbarukan dengan pilihan biaya paling murah. Tentunya, dengan keandalan pasokan optimal dan teknologi handal.
Tapi, jika Pemerintah Indonesia memilih untuk mengembangkan energi nuklir, harus memperhatikan kesiapan institusi, teknologi dan biaya investasi dan sosial, serta risiko lain.
“Berdasarkan perhitungan IESR, Indonesia bisa membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 dengan mengandalkan surya dan angin. Kapasitas tersebut dapat membawa bauran energi terbarukan dan memudahkan mencapai nol emisi sektor ketenagalistrikan pada 2045,” jelasnya.
Sebelumnya, Senin [11/11/2024], sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim [ARUKI] menegaskan bahwa keadilan iklim seharusnya menjadi agenda prioritas delegasi Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus mendorong komitmen bersama untuk melakukan phase out energi fosil, melakukan perlindungan ekosistem, dan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Ini termasuk dengan tidak menggunakan sumber energi dan teknologi yang memperpanjang energi fosil seperti co-firing PLTU, produksi bioenergi skala besar, dan CCS,” ujar Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law [ICEL].
ARUKI yang merupakan aliansi 30 organisasi masyarakat sipil, mendorong terwujudnya UU Keadilan Iklim.
ARUKI menilai, ada lima poin yang harus menjadi fokus delegasi Indonesia di COP29.
- Pemerintah Indonesia harus berani berkomitmen dan memimpin agenda pembangunan dan ekonomi yang sejalan dengan target 1,5 derajat Celcius.
- Pemerintah Indonesia harus tegas menyatakan komitmen terhadap perlindungan dan pemulihan ekosistem sebagai unsur kunci untuk menunjang adaptasi lingkungan.
- Indonesia harus mampu menekan negara-negara maju untuk memenuhi komitmen target pendanaan iklim mereka, termasuk meningkatkan pendanaan hibah untuk mitigasi, adaptasi, serta kehilangan dan kerusakan lingkungan.
- Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus mampu mendorong agenda redistribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya, menuju keadilan yang menjadi syarat utama ketahanan iklim rakyat.
- Pemerintah Indonesia harus melindungi kelompok rentan dan memastikan keterlibatan bermakna masyarakat, termasuk dengan melibatkan perempuan, orang muda, masyarakat adat, petani gurem, nelayan kecil dan tradisional, buruh, kelompok disabilitas, dan masyarakat rentan lain dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
PLTU Batubara
Salah satu persoalan transisi energi bersih di Indonesia saat ini, bukan hanya masih berjalannya aktivitas penambangan batubara, juga kehadiran sejumlah pembangkit listrik yang menggunakan batubara. Termasuk pula yang ada di Sumatera Selatan.
Sumatera Selatan merupakan penghasil batubara. Setiap tahun, sekitar 57 juta ton batubara digali dari Sumatera Selatan. Sekitar satu juta hektar lahan yang menyimpan batubara siap dieksploitasi, yang diperkirakan cadangannya sebesar 9,3 miliar ton, terbesar kedua di Indonesia.
Sementara PLTU [Pembangkit Listrik Tenaga Uap] Batubara yang sudah berjalan, antara lain PLTU Mulut Tambang Sumsel 8, di Kabupaten Muara Enim.
PLTU ini berkapasitas 2 x 660 megawatt [MW], yang beroperasi sejak 7 Oktober 2023. Dibangun oleh PT Huadian Bukit Asam Power [HBAP], perusahaan patungan antara PT Bukit Asam Tbk [PT BA] dan China Huadian Hongkong Company Ltd [CHDHK].
Kemudian PLTU Banjarsari, yang berada di Kabupaten Lahat. Kapasitasnya 2 x 110 MW. PLTU ini juga dibangun PT Bukit Asam Tbk, yang bekerjasama dengan PT Pembangkitan Jawa Bali [PJB].
“Di tengah transisi energi bersih ini, di Sumsel yang terjadi bukan melakukan pengurangan atau proses memensiunkan PLTU Batubara, justru menambahnya,” kata Bonifasius Ferdinandus Bangun, Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [14/11/2024].
Sebab, direncanakan pada Desember 2024 ini, PLTU Sumsel 1 mulai beroperasi. PLTU berkapasitas 2×300 MW ini berada di Desa Tanjung Menang, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan tahun 2023, jumlah pembangkit listrik, baik menggunakan fosil maupun energi terbarukan, di Sumatera Selatan sebanyak 24. Setelah hadirnya PLTU Mulut Tambang Sumsel 8 dan PLTU Sumsel maka menjadi 26. Sebanyak sembilan pembangkit menggunakan batubara, sementara lainnya menggunakan panas bumi, air, dan biogas.
Sementara, perusahaan yang mengusahakan penambangan batubara di Sumatera Selatan tercatat sekitar 109 perusahaan. IUP PMA [Izin Usaha Pertambangan Penanaman Modal Asing] sebanyak 11 perusahaan; PKP2B [Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara] sebanyak delapan perusahaan; IUPK [Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi] sebanyak lima perusahaan; serta, IUP [Izin Usaha Pertambangan] Provinsi sebanyak 115 perusahaan.