Perubahan Iklim merupakan fenomena alam yang berdampak serius bagi keberlangsungan hidup manusia dan alam di sekitarnya. Oleh sebab itu tidak heran jika perubahan iklim menjadi perhatian serius masyarakat dunia dalam upaya adaptasi dan meminimalisir dampak yang ditimbulkannya. Demikian pula yang terjadi di kabupaten Jombang, Jawa Timur, adanya perubahan iklim berdampak besar pada sektor kesehatan, ekonomi dan sosial masyarakat terutama bagi kaum perempuan yang kondisinya jauh lebih rentan dibandingkan kaum laki laki.
Menurut Nuzulia Istiningsih dari Sanggar Hijau Indonesia, bahwa isu climate change/perubahan iklim masih sebatas isu di kalangan perkotaan dan belum familiar di kalangan pedesaan karena keterbatasan akses informasi kepada masyarakat. Selama ini program pemerintah seringkali berbasis proyek bukan edukasi. Program pemerintah di tingkat akar rumput seringkali tidak mempertimbangkan pendekatan lingkungan, kawasan hijau semakin lama semakin menciut digerus atas nama pembangunan. Akibatnya tidak adanya daya dukung lingkungan yang kuat, rawan banjir, tanah longsor di kawasan pegunungan bahkan terjadi kekeringan dan krisis air.
Lebih lanjut Nuzulia yang juga sebagai petani muda Jombang mengungkapkan, bahwa dampak perubahan iklim sangat erat dirasakan oleh para perempuan terutama bagi mayoritas perempuan petani yang tinggal di pedesaan. Berdasarkan hasil sensus pertanian 2023 “Jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) di Kabupaten Jombang menunjukkan kenaikan sebesar 9,64% dari sensus 2013“. Bahkan pada 2023 ada 12,47% RTUP yang kepala rumah tangganya perempuan, di sisi lain perempuan yang tidak menjadi kepala rumah tanggapun justru mendapat beban ganda karena harus melakukan pekerjaan domestik tak berbayar ditambah kerja-kerja pertanian.
Selanjutnya beban perempuan semakin meningkat karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh pada perubahan kondisi alam seperti terjadinya kekeringan berkepanjangan dan ancaman krisis air saat musim kemarau begitupun sebaliknya ketika musim penghujan rawan terjadi banjir dan longsor. Akibatnya perempuan yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian menjadi kelompok rentan secara ekonomi seperti adanya ancaman gagal panen sementara disisi lain biaya produksi pertanian juga semakin tinggi. Apalagi saat ini petani di Jombang terdiri dari petani gurem (lahan kurang dari 0,5 Ha) bahkan petani yang biasanya sewa lahan atau kerja bagi hasil.
Beberapa persoalan yang dialami perempuan petani akibat adanya perubahan iklim maka biaya perawatan tanaman meningkat seperti biaya tambahan untuk beli air memakai mesin diesel dengan ongkos bisa mencapai 3 kali lipat jika tidak ada pengairan sungai. “Tanaman padi misalnya kalau kurang air selain bisa mengganggu pertumbuhannya, gulma pengganggu akan muncul, jika banyak gulma akan muncul hama lebih banyak“ ungkap Nuzulia. Jika sudah begini, perempuan mendapat tambahan beban kerja kerja tak berbayar untuk menyokong keberhasilan usaha pertanian seperti mencabut rumput (dadak/matun). Pada gilirannya perubahan iklim juga berpengaruh pada kehidupan perempuan urban, karena sokongan pangan berasal dari desa, jika desa gagal panen maka stock pangan juga langka.
Menurut Nuzulia, untuk bisa beradaptasi dengan dampak perubahan iklim di sektor ekonomi, kaum perempuan rela menghemat kebutuhan rumah tangga dengan mendahulukan kebutuhan keluarga dibanding kebutuhannya sendiri. Misalnya di beberapa wilayah kabupaten Jombang terdapat persoalan air yang tidak layak konsumsi karena sudah tercemar sehingga untuk kebutuhan masak terpaksa harus membeli air galon dan otomatis akan menambah biaya pengeluaran rumah tangga. Demikian halnya ketika terjadi bencana, perempuanlah yang menjadi garda depan dalam melakukan emergency respon seperti spontan membuat dapur umum untuk pengelolaan makanan bagi korban bencana. Sementara itu, dalam proses penanganan bencana seringkali mengabaikan kebutuhan perempuan seperti tidak adanya ruang privat bagi perempuan hamil dan menyusui, kebutuhan pembalut dan popok bayi yang tidak masuk dalam bantuan logistik.
Sementara itu menurut Noor Chasanah dari BRKS (Building Resilience Kindness Society) menyatakan bahwa perempuan mempunyai potensi dan peran penting dalam melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Namun, karena masih melekatnya kultur patriarki dalam masyarakat Indonesia, membuat peran perempuan lebih sering terdiskriminasi dan terpinggirkan.
Lebih lanjut Ia mengatakan, ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh kaum perempuan dalam menghadapi perubahan iklim, diantaranya masih terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya seperti tanah, air, dan teknologi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap perubahan iklim. Selain itu, adanya perubahan iklim sangat berpengaruh pada kesehatan perempuan, terutama dalam hal akses ke layanan kesehatan dan risiko penyakit yang meningkat akibat kondisi lingkungan yang buruk dan perubahan cuaca yang ekstrim. Ditambah lagi masih minimnya informasi dan pendidikan tentang perubahan iklim menjadikan perempuan tidak memiliki kapasitas (pengetahuan dan ketrampilan) yang cukup untuk bisa beradaptasi dengan perubahan iklim.
Oleh sebab itu pemerintah harus lebih banyak meningkatkan partisipasi, peran dan kapasitas perempuan dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim dan pelestarian lingkungan. Sudah saatnya perempuan memiliki suara, relasi kuasa dan policy yang setara dengan laki laki dalam mengambil keputusan/kebijakan untuk melakukan upaya upaya adaptasi dampak perubahan iklim dan mitigasi bencana baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah, ungkap Noor. (brks.or.id)