Selain disebut sebagai kelompok yang rentan terdampak perubahan iklim, perempuan juga bisa agen perubahan untuk mendorong upaya-upaya dalam mempertahankan kondisi iklim global. Meski begitu, dalam prakteknya keterlibatan kaum perempuan dalam mengatasi krisis iklim ini seringkali terabaikan dan seolah-olah tidak terlihat.
Terabaikannya peran perempuan ini dikarenakan oleh pengaruh budaya dan adanya gender yang masih melekat pada streotip banyak orang. Disisi lain, status sosial yang mendiskriminasikan peran dan aksebilitas perempuan di berbagai bidang termasuk perubahan iklim juga menjadi tantangan tersendiri.
Hal tersebut diungkapkan Eko Novi, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender bidang Sosial Budaya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam diskusi bertajuk “EmpowerHER Dialogue: Women Leading the Triple E (Energy, Education, Economy) Green Revolution” yang diselenggarakan UN Women dan Green Welfare di Jakarta, akhir Juni 2024 lalu.
Eko mengatakan perubahan iklim yang berdampak kepada perempuan akan semakin runyam karena perempuan juga berperan sebagai perawat dan penyedia makanan. Sehingga efeknya bisa terjadi pada pangan, sosial budaya, lingkungan, ekonomi, energi, dan kesehatan.
“Ketika terjadi banjir maupun bencana alam lain yang diakibatkan perubahan iklim ini perempuan lah yang paling rentan terdampak, disamping juga anak-anak, lansia, dan disabilitas,” jelasnya.
Menyadari akan hal itu, pihaknya bersama para stakeholder pihaknya telah membuat Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim. Langkah ini diambil untuk mendorong kesetaraan gender dan perlindungan anak dalam mengatasi krisis iklim.
Dalam dokumen yang telah disusun itu, harapannya bisa menjadi acuan untuk menjawab isu gender yang mengemuka akibat perubahan iklim, salah satunya memberi manfaat secara ekonomi.
“Ini juga bisa kita lakukan berkolaborasi dengan kelompok-kelompok muda, bersama mengedukasi, memberikan pendampingan, dan mendorong kesadaran bahwa perempuan juga bisa menjadi agen perubahan untuk mengatasi krisis iklim,” tandasnya.
Beban Ganda
Pandangan serupa juga disampaikan, Dwi Faiz, Officer in Charge for Country Representatif UN Women Indonesia. Dalam kesempatan itu Dwi mengatakan, dengan adanya perubahan iklim maka pekerjaan domestik perempuan jadi bertambah.
Ia mencontohkan, di beberapa wilayah pedesaan di Indonesia misalnya, selain mengurus pekerjaan domestik, perempuan juga dituntut untuk mencari air bersih saat terjadi kekeringan akibat krisis iklim. Pekerjaan juga akan bertambah tatkala terjadi kegagalan panen.
Menurutnya, beban ganda yang ditanggung perempuan selain karena faktor sosial ekonomi juga disebabkan budaya yang ada. Sehingga perempuan kerapkali memiliki keterbatasan akses sumber daya serta pendidikan dan kekuasaan pengambilan keputusan.
Sehingga fenomena perubahan iklim ini juga berdampak buruk bagi perempuan yang berada di kawasan yang akses layanan kesehatannya terbatas.
“Salah satu tantangan terbesar pada abad ini yaitu ketidaksetaraan dan perubahan iklim,” tegasnya.
Mengacu pada skenario jalur iklim terburuk, lanjut Dwi, hampir 160 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia kemungkinan akan jatuh ke dalam kemiskinan sebagai akibat langsung dari perubahan iklim pada tahun 2050.
Situasi perubahan iklim ini ia sebut tidak proposional bagi perempuan dan anak perempuan, serta memundurkan pencapaian kesetaraan gender. Dalam kondisi ini, Dwi menilai seringkali perempuan dan anak perempuan tidak masuk dalam program dan kebijakan terkait lingkungan dan mitigasi bencana. Walaupun ada, nyatanya perubahan iklim ini cenderung lebih cepat.
Bila tidak ada aksi dan intervensi yang tegas, katanya, temperatur suhu bumi diperkirakan meningkat mencapai tiga derajat celcius. Sehingga dikhawatirkan bumi sudah tidak layak ditinggali lagi.
“Kita tidak mau terus-terusan ada dalam skenario ini. Kita harus melihat harapan yang lebih baik,” imbuhnya. Untuk itu, menurutnya, dalam mengatasi persoalan ini perlu kolaborasi multipihak.
Selain itu, perlu adanya apresiasi kepada perempuan dan anak muda perempuan dalam yang sudah berperan dalam mengatasi perubahan iklim.
Sebab, memberdayakan dan mendukung gerakan perempuan adalah sebuah investasi berkelanjutan, sembari memastikan pengelolaan sumber daya alam, aksi iklim, dan mitigasi bencana yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Sebagai upaya mempercepat kesetaraan gender dalam aksi iklim ini Asian Development Bank (ADB) juga bercita-cita menyediakan pendanaan iklim kumulatif sebesar 100 miliar dollar AS untuk kawasan Asia dan Pasifik pada tahun 2030.
Agen Perubahan Minim Perhatian
Harus disadari perempuan adalah agen perubahan bagi keluarga dan komunitasnya, begitu juga dalam mengatasi krisis iklim.
Ida Nuryatin, Sekertaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam kesempatan yang sama menyampaikan, selain rentan, perempuan juga merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang bisa dilibatkan dalam aspek pengembangan dan pembangunan di semua bidang, misalnya dalam transisi energi baru terbarukan.
Ia mencontohkan, diinstansinya misalnya, meski saat ini sebagian besar yang bekerja masih didominasi laki-laki, namun sekarang ini sudah terbuka dan memberikan kesempatan yang sama untuk perempuan.
Hal ini berbeda dengan sewaktu ia mendaftar dulu, dimana salah satu persyaratannya lebih mengutamakan yang laki-laki. “Saya rasa dalam beberapa tahun ini sudah banyak kemajuan yang terimplementasikan terkait dengan kesetaraan gender ini,” ujarnya.
Walaupun barangkali terabaikan, menurut dia sejatinya perempuan memiliki peranan penting dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam lingkup kecil misalnya, upaya sederhana yang bisa dilakukan yaitu menghemat penggunaan energi listrik.
Selain itu, perempuan juga dituntut berperan aktif dalam pengembangan energi baru terbarukan. Untuk mendukung hal ini, pihaknya juga mempunyai program-program yang berdampak pada ekonomi kerakyatan melalui program bantuan listrik gratis.
Sementara itu, Wukir Amintari Rukmi, Kepala Sub Direktorat Fasilitasi Perundingan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, peran perempuan sangat relevan dalam mengatasi perubahan iklim. Untuk itu aksi mitigasi dan adaptasi ambisius mendesak dilakukan semua pihak, termasuk perempuan.
Sebagai bentuk komitmen untuk menangani perubahan iklim, KLHK berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan target sebesar 29 persen melalui usaha sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional hingga tahun 2030. Dan juga pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). (***)
Sumber ; Mongabay.co.id