analisis anggaran responsif gender

Analisis Anggaran Responsif Gender pada Program Perlindungan Sosial di Indonesia: Studi Kasus di Dua Kabupaten dan Kota

Abstrak

Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional memiliki dampak terhadap perencanaan dan implementasi kebijakan publik di Indonesia. Kebijakan publik menjadi arena penting bagi perjuangan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Komitmen pemerintah terhadap hal tersebut salah satunya dapat dilihat melalui Anggaran Responsif Gender (ARG). Penelitian ini menganalisis anggaran responsif gender pada program perlindungan sosial di Indonesia, dengan studi kasus di tiga wilayah yaitu, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Lombok Utara dan Kota Padang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, studi kepustakaan termasuk dokumen APBN dan APBD. Penelitian ini melakukan analisis ARG di tiga wilayah tersebut dengan tiga kategori analisis belanja anggaran yaitu, spesifically identified gender based-expenditure, equal employment opportunity expenditure, dan mainstream budget expenditure. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah telah ada alokasi anggaran responsif gender untuk program afirmasi perempuan, anak, lansia dan difabel. Meski demikian terlihat bahwa anggaran dan pengeluaran belanja spesifik gender masih terpusat di dinas-dinas yang identik dengan urusan perempuan.

Kata kunci: Anggaran Responsif Gender, Program Perlindungan Sosial, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Lombok Utara, Kota Padang, Analisis Anggaran Belanja.

Pendahuluan

Gerakan perempuan di Indonesia telah berumur lebih dari satu dekade, mulai dari masa kolonial Belanda hingga kini 20 tahun pascareformasi. Gerakan perempuan telah memperjuangkan banyak isu menyoal kesempatan dan kesejahteraan perempuan baik di ruang publik maupun privat. Peralihan masa orde Baru yang otoriter ke orde Reformasi menandai babak baru gerakan perempuan di Indonesia. Di era reformasi kesempatan bagi perempuan untuk hadir di ruang publik terbuka, bukan hanya sebagai “alat” pemerintah tetapi sebagai individu agen pembangunan.  Hal ini didukung dengan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Situasi ini memungkinkan gerakan perempuan melakukan advokasi terhadap kebijakan publik di Indonesia. Kebijakan publik yang sebagian besar mengatur dan memuat ide-ide tradisional peran perempuan memperkuat subordinasi perempuan baik di ruang publik maupun privat. Hal tersebut menyebabkan patriarki laki-laki bertransformasi menjadi negara yang patriarki. Perempuan akan terus bergantung ketika mereka dan anak mereka tidak diberikan kesempatan untuk meningkatkan keahlian, mendapatkan akses terhadap rumah, makanan dan perlindungan kesehatan (Conway, Ahern & Steuernagel 2005, h. 6). Dengan demikian kebijakan publik menjadi salah satu arena penting untuk perjuangan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia tahun 2016 adalah 90,82 atau mengalami penurunan sebesar 0,21 poin atau 0,23% dari tahun sebelumnya yang sudah mencapai 91,03. Sementara, selama tahun 2010-2015, IPG selalu mengalami peningkatan. Semakin dekat angka IPG ke 100, maka semakin kecil kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan (Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2017). Ada banyak hambatan yang dihadapi dalam implementasi sehingga angka IPG Indonesia menurun, diantaranya soal kemiskinan, pendidikan, kesehatan. Salah satu kebijakan publik yang menyasar persoalan ini ialah kebijakan perlindungan sosial.

Dalam konteks kesetaraan dan keadilan gender, salah satu cara untuk melihat komitmen pemerintah adalah melalui anggaran responsif gender. Anggaran responsif gender sebagai turunan dari Inpres No. 9 Tahun 2000 bukan hanya fokus pada penyediaan anggaran pengarusutamaan gender, tetapi lebih kepada mewujudkan keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, manfaat, berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber daya. Selain itu ARG juga mewujudkan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam memilih dan menikmati hasil pembangunan.

Fakta lain menunjukkan bahwa ketimpangan gender terjadi di sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan politik. Hingga 2016, harapan lama sekolah perempuan hanya selama 7,5 tahun sedangkan harapan lama sekolah laki-laki selama 8,41 tahun. Artinya, perempuan di Indonesia rata-rata bersekolah hanya sampai kelas 8 (kelas 2 SMP). Sementara laki-laki mengenyam pendidikan satu tahun lebih lama dibandingkan perempuan, yakni hingga kelas 9 (Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2017).

Selanjutnya di dunia kerja, pendapatan perempuan masih belum setara dengan laki-laki. Hal ini tercermin dari rata-rata upah pekerja laki-laki 2,43 juta rupiah per bulan lebih tinggi dibanding perempuan yang hanya 1,98 juta rupiah per bulan (BPS 2016). Untuk pekerjaan yang serupa, upah rata-rata per jam yang didapat oleh pekerja perempuan hanya sekitar 70% dari upah per jam pekerja laki-laki (AIPEG 2017). Sementara peran perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan di ruang publik juga masih terbatas. Hal ini tercermin dari rendahnya keterwakilan perempuan di DPR yang hanya sebesar 17,32 persen pada periode 2015-2019, menurun dari periode 2009-2014 yang mencapai 17,86 persen.

Begitu juga profil gender di sektor kesehatan, rasio kematian ibu di Indonesia masih tinggi. Pada 2015, rasionya adalah 126 per 100.000 kelahiran (WHO 2015; UNICEF 2012). Angka ini jauh di atas target MDGs sebanyak 102 per 100.000 kelahiran di tahun 2015, dan di atas negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina.

Dari situasi tersebut, maka penelitian ini mengambil fokus pada fungsi perlindungan sosial yang dalam alokasi belanja pemerintah tahun 2018 dianggarkan sebesar Rp162,6 triliun, atau naik sekitar Rp4,8 triliun dari tahun 2017 yang jumlahnya sebesar Rp157,8 triliun. Penelitian ini merupakan analisis terhadap anggaran responsif gender (ARG) pada program perlindungan sosial di Indonesia untuk melihat komitmen pemerintah daerah dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan kajian kepustakaan dan dokumen. Dokumen yang dikaji yaitu dokumen APBN dan APBD. Data-data yang diperoleh dari dokumen tersebut diolah dan ditampilkan dalam tabel dan grafik sehingga memudahkan pembaca untuk memahami. Hasil kajian dokumen dan wawancara mendalam dianalisis dengan alat analisis belanja anggaran yang ditawarkan Debbie Budlender yaitu spesifically identified gender-base expenditure, equal employment opportunity expenditure dan mainstream budget expenditure.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana skema dan alokasi anggaran responsif gender pada program perlindungan sosial bekerja dan berkontribusi dalam mengecilkan gap ketimpangan gender. Penelitian ini fokus pada program, kegiatan, dan anggaran perlindungan sosial di Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Dinas Ketenagakerjaan di tiga daerah yakni Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Lombok Utara dan Kota Padang. Tiga daerah ini dipilih karena merupakan wilayah kerja Mitra MAMPU.

Skema Kebijakan Perlindungan Sosial di Indonesia

Konsep perlindungan sosial di Indonesia terdapat dalam tiga undang-undang yaitu UU Kesejahteraan Sosial (No. 11/2009), UU Penanganan Fakir Miskin (No. 13/2011) dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN (No. 40/2004). Perlindungan sosial mencakup berbagai instrumen yang dikendalikan oleh pemerintah untuk mengamankan rumah tangga, menekan kerentanan, dan mendukung kelompok atau individu yang layak bantuan. Bukan ‘hanya’ dan bukan selalu ‘warga miskin’, tetapi utamanya perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, yang dalam atau sedang mengalami kondisi kerentanan. Perlindungan sosial mencakup: 1) Bantuan sosial, yang terbagi menjadi rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial; dan 2) Jaminan sosial. Salah satu pembedanya adalah pada sumber pembiayaan. Bantuan sosial dibiayai langsung oleh negara melalui pajak APBN/APBD, sedangkan perlindungan sosial dibiayai melalui iuran, meski bagi masyarakat yang tidak mampu iuran ditanggung oleh negara melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari APBN/APBD.

Di masa Orde Baru, perlindungan sosial masih terbatas pada program jaminan sosial yang ditujukan untuk pegawai negeri dan pekerja swasta formal. Program-program tersebut terdiri dari asuransi kesehatan, jaminan pensiun, jaminan kematian dan asuransi kecacatan untuk pegawai negeri (Askes dan Taspen); jaminan kesehatan, pensiun, tunjangan kematian, asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kecacatan untuk anggota TNI (ASABRI); asuransi kesehatan, tabungan hari tua, jaminan kematian dan asuransi kecelakaan kerja untuk pekerja swasta di sektor formal (Jamsostek). Perlindungan sosial yang ditujukan untuk orang miskin baru dimulai sejak ditetapkannya UU No. 6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial dengan kerangka proteksi sosial. Leading sector kebijakannya adalah Departemen Sosial yang mempunyai tugas mengelola dan menyalurkan bantuan-bantuan sosial.

Perlindungan sosial mulai komprehensif saat krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 (era Suharto dilanjutkan Habibie) dan selanjutnya tahun 2004 (Megawati) menuju jaminan sosial yang komprehensif dengan penetapan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Krisis tersebut berdampak sangat besar pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, dan menunjukkan kerentanan ekonomi serta perlunya perlindungan sosial bagi seluruh penduduk (Sumarto et al. 2002). Sebagai respons terhadap krisis, pemerintahan Habibie meluncurkan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) di tahun 1998. Skema yang dibangun adalah bantuan tunai, penyaluran beras dan sembako (sembilan bahan pokok), serta bantuan biaya pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin dan hampir miskin (near poor). Program-program ini kemudian dikembangkan pada era pemerintahan Megawati Soekarno Putri dengan Program Jaring Pengaman Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin). Lebih lanjut, Megawati membentuk Komite Kerja Sistem Kesejahteraan Sosial (2001) yang bertugas merancang Sistem Jaminan Sosial baru yang ditetapkan melalui UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), program kesejahteraan sosial terus mengalami diversifikasi dan dilanjutkan pemerintahan Joko Widodo dengan modifikasi program dan penamaan. Program unggulan pada masa itu diantaranya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi pencabutan subsidi BBM, dan Program Beras Miskin (Raskin). Pemerintah di era tersebut juga mulai mengembangkan program lain seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Jaminan Persalinan (Jampersal). Selama masa pemerintahan SBY, regulasi yang lahir antara lain UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Presiden RI No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan Peraturan Presiden RI No. 96 Tahun 2015 yang mengatur tentang pembentukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wakil Presiden RI.

Pada era Jokowi saat ini, kebijakan maupun program perlindungan sosial masih berlanjut dengan berbagai modifikasi. Program-program unggulan saat ini, misalnya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Beras untuk Keluarga Sejahtera (Rastra), Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi kepada petani dan nelayan dan lainnya, merupakan pengembangan dari program-program sebelumnya. Corak yang dikembangkan masih relatif sama dan belum terintegrasi antara program satu dengan program lainnya (Djani 2018).

Kebijakan Alokasi Anggaran Responsif Gender pada Program Perlindungan Sosial di Indonesia

Alokasi anggaran pemerintah menjadi sangat penting untuk menelusuri implementasi dari suatu kebijakan sosial pemerintah. Anggaran akan menentukan program kegiatan mana yang harus bertambah, berkurang, perlu dihilangkan, perlu dikembangkan bahkan perlu diperluas jangkauannya. Tinjauan terhadap mata anggaran dan membandingkan dengan mata anggaran lain yang serumpun dalam kebijakan sosial khususnya perlindungan sosial dapat membantu proses advokasi atau intervensi kebijakan agar tepat mengenai sasaran program kegiatan. Hal yang terpenting dalam analisis anggaran dalam kebijakan sosial bukan hanya melihat besaran biaya tetapi juga efisiensi alokasi (Knapp 1984).

Perbedaan gender berpengaruh besar terhadap perbedaan kebutuhan, kepentingan dan prioritas antara laki-laki dan perempuan. Pendekatan yang sensitif gender mempertimbangkan dan mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut sehingga keduanya mendapat manfaat yang setara. Anggaran merupakan instrumen negara yang sangat penting, dan mencerminkan prioritas kebijakan negara, baik di bidang ekonomi maupun sosial. Anggaran dapat menjadi tolok ukur komitmen pemerintah dalam isu tertentu. Dengan demikian, negara yang berkomitmen terhadap kesetaraan gender akan menunjukkan komitmen tersebut dalam bentuk anggaran yang sensitif gender. Anggaran negara tidaklah netral gender. Anggaran memiliki dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, dapat mencerminkan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, kesenjangan sosial ekonomi (UN Women 2016).

Sumber: LKPP APBN 2016-2017 dan APBN 2018, diolah oleh FITRA

Tabel 1. Tren Belanja APBN untuk Fungsi Perlindungan Sosial 2016-2018

Dalam APBN tahun 2018, alokasi anggaran untuk Fungsi Perlindungan Sosial mencapai Rp 161.544 triliun. Secara nominal, jumlah tersebut meningkat Rp 12.638 triliun dibanding besaran realisasi anggaran untuk Fungsi Perlindungan Sosial dalam APBN 2017 atau naik Rp 23.807 triliun dibanding APBN 2016 untuk fungsi yang sama. Namun bila dipersentasekan terhadap Total Belanja APBN, Belanja untuk Fungsi Perlindungan Sosial mempunyai kecenderungan menurun setiap tahunnya, dari 11,9 persen (2016), menjadi 11,8 persen (2017), dan 11,1 persen (2018). Meski demikian, belanja untuk fungsi perlindungan sosial masih menempati peringkat tiga distribusi belanja pemerintah pusat di bawah belanja untuk fungsi pelayanan umum dan ekonomi.

Alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial pada hakikatnya adalah untuk mendongkrak kualitas hidup manusia. Seluruh kementerian dan lembaga, termasuk Kemen-PPPA, mengarahkan seluruh rencana strategis dan rencana kerja tahunannya berdasarkan blueprint prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yaitu good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), kesepakatan SDG’s (pembangunan berkelanjutan), dan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). (Assisten Deputi Kesetaraan Gender KPPPA 2018, wawancara)

Pernyataan Asisten Deputi Kesetaraan Gender KPPPA di atas menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk kebijakan program perlindungan sosial harus diikuti dengan prinsip kesetaraan dan keadilan sehingga manfaat program dapat dinikmati oleh semua, termasuk perempuan. Alokasi anggaran berbasis gender juga memiliki keterkaitan dengan kesepakatan global tentang pembangunan berkelanjutan yang secara eksplisit menyebutkan kesetaraan gender sebagai salah satu tujuannya. Dengan demikian KPPPA memiliki tanggung jawab untuk mendorong dan mengawal kebijakan anggaran responsif gender.

Strategi PUG dalam program perlindungan sosial dimaksudkan untuk mengurai persoalan kesenjangan dan menyasar kepada kelompok rentan. Pemerintah mengakui bahwa masih terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di berbagai sektor. Untuk itu, sasaran utama program perlindungan sosial diarahkan kepada kelompok-kelompok masyarakat dengan kebutuhan yang berbeda, misalnya perempuan, anak, penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok rentan lainnya. Dengan terbitnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas, pemerintah diwajibkan memberi perhatian khusus kepada penyandang disabilitas. (Wawancara dengan KPPPA 2018)

Anggaran responsif gender (gender responsive budgeting) adalah anggaran yang memastikan alokasi sumber daya keuangan publik dimanfaatkan dengan cara efektif dan meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Anggaran responsif gender bukan berarti adanya anggaran yang tersendiri untuk perempuan atau sekadar maningkatkan alokasi anggaran untuk perempuan, tetapi penganggaran yang didasarkan analisis mendalam untuk membuat kebijakan yang memajukan hak-hak perempuan. Anggaran responsif gender menganalisis kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan memastikan sistem penganggaran mengakomodasi perbedaan tersebut, termasuk untuk mengatasi diskriminasi (UN Women 2016). ARG merupakan bagian dari pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) yang merupakan upaya untuk memastikan bahwa perspektif gender dan kesetaraan gender menjadi bagian penting dalam semua kebijakan. Pengarusutamaan gender harus terdapat dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan monitoring kebijakan.

Sasaran program perlindungan sosial (PKH) diberikan kepada keluarga miskin yang memiliki persyaratan yang ditetapkan seperti, ibu hamil, balita, siswa SD-SMA, difabel berat sampai lanjut usia. Kelompok-kelompok sasaran tersebut didapat dari Basis Data Terpadu (BDT) yang dikelola oleh Kementerian Sosial. BDT divalidasi melalui proses musyawarah pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten/kota. Disinilah pendamping PKH mempunyai peran yang sangat strategis untuk melakukan verifikasi dan validasi data BDT. (Wawancara dengan Kementerian Sosial 2018)

Program perlindungan sosial di Indonesia yang menyasar kelompok rentan ekonomi, pendidikan dan kesehatan perlu diikuti dengan sistem pendataan yang komprehensif sehingga tepat sasaran dan merata. Pendataan penerima manfaat program perlindungan sosial kemudian dikelola oleh Kementerian Sosial. Perihal data terpadu ini mendapat perhatian khusus yang dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu dan Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No. 30/HUK/2017 tentang Kelompok Kerja (Pokja) Pengelola Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin. Pokja tersebut terdiri dari Kementerian Sosial, Kemenko PMK, Kemendagri, Bappenas, BPS, dan TNP2K. Hal ini membuktikan bahwa PUG pada program perlindungan sosial perlu dilakukan lintas sektor dan kementerian.

Analisis Anggaran Responsif Gender pada Dokumen APBD Kabupaten Gunungkidul, Lombok Utara, dan Kota Padang

Dari tiga wilayah yang diteliti, Kota Padang merupakan daerah dengan besaran APBD dan kapasitas fiskal tertinggi dibandingkan Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Lombok Utara. Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Lombok Utara rata-rata mengelola APBD sebesar Rp1,7 triliun dan Rp884,7 miliar dalam rentang 2016-2018. Sementara Kota Padang mengelola APBD lebih besar dari dua daerah tersebut, yakni rata-rata mencapai Rp2,2 triliun. Nilai pertumbuhan pendapatan dan belanja di masing-masing daerah mengalami fluktuasi setiap tahun dengan rata-rata pertumbuhan hanya sekitar 4 persen. Hal ini menandakan bahwa besaran pendapatan dan belanja dalam APBD di tiga daerah relatif stagnan. Berikut adalah potret APBD tiga daerah lokasi studi:

Grafik 1. Tren Pendapatan, Belanja, dan Pertumbuhan APBD Tahun Anggaran 2016-2018

Dengan besaran anggaran tersebut, pemerintah daerah kemudian mengalokasikan anggaran berdasarkan urusan, organisasi perangkat daerah (OPD), dan program/kegiatan. Anggaran untuk program perlindungan sosial menyebar melalui program dan kegiatan yang dikelola oleh berbagai OPD. Berikut adalah gambaran alokasi anggaran program dan kegiatan perlindungan sosial:

Belanja Perlindungan Sosial di Dinas Pendidikan

Kabupaten Lombok Utara, Gunungkidul, dan Kota Padang telah mengalokasikan anggaran pendidikan lebih dari 20 persen dari total APBD. Kewajiban belanja daerah untuk urusan pendidikan ditetapkan minimal 20 persen dari total belanja APBD merupakan mandat UUD 1945 dan pasal 49 Ayat (1) dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kabupaten Gunungkidul telah mengalokasikan anggaran untuk urusan pendidikan rata-rata mencapai 40 persen dari Rp1,7 triliun belanja daerah selama 2016-2018. Demikian juga dengan Kabupaten Lombok Utara, rata-rata belanja urusan pendidikannya sekitar 21 persen dari Rp884,6 miliar belanja daerah. Adapun Kota Padang, alokasi anggaran untuk urusan pendidikan mencapai 37 persen dari total belanja daerah yang nominalnya mencapai Rp2,26 triliun.

Alokasi anggaran yang spesifik maupun sifatnya pendukung program perlindungan sosial relatif kecil dan bersifat komplementer dari APBN. Kabupaten Gunungkidul rata-rata hanya menganggarkan sekitar Rp4,6 miliar per tahun atau 5 persen dari total belanja dinas pendidikan. Sementara Kabupaten Lombok Utara mengalokasikan anggaran sebesar Rp20 miliar atau 10 persen dari total belanja Dinas Pendidikan. Sementara Kota Padang rata-rata mengalokasikan anggaran untuk Program Perlindungan Sosial sebesar Rp111 miliar atau sekitar 46 persen dari total belanja Dinas Pendidikan. Lihat grafik di bawah ini:

Grafik 2.  Tren Belanja Perlindungan Sosial Dinas Pendidikan Tahun Anggaran 2016-2018

Anggaran program perlindungan sosial di atas diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan yang sama dan berbeda antardaerah. Kabupaten Gunungkidul misalnya, anggarannya digunakan antara lain untuk, (1) Penyelenggaraan kejar paket A setara SD; (2) Kejar paket B setara SMP; (3) Pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah; (4) Penyelenggaraan pendidikan kesetaraan dan keaksaraan; dan (5) Pengembangan percontohan pendidikan kesetaraan dan kursus institusional.

Dapat diidentifikasi bahwa di Kabupaten Lombok Utara terdapat program afirmatif seperti sekolah perempuan di daerah dusun-dusun (pinggiran) seperti contohnya Sekolah Perempuan Desa Bayan, terdiri dari delapan kelompok belajar perempuan. Anggota Sekolah Perempuan berjumlah 276 orang dan 23 orang anggota Sekolah Perempuan tingkat kelurahan (leader). Sekolah perempuan juga terdapat di Desa Sukadana dan Sokong. Fokusnya adalah literasi dan menciptakan lingkungan yang mendukung (enabling environment) untuk perbaikan kualitas hidup.

Penelitian ini juga menemukan beberapa masalah terkait pelaksanaan program perlindungan sosial di tingkat pusat dan daerah. Pertama, masalah akses perbankan yang jauh (di daerah terpencil) pada penyaluran Program Indonesia Pintar (PIP) masih ditemui di daerah misalnya di Kabupaten Lombok Utara. Problem saat penyaluran, misalnya penyaluran dari bank yang jauh dan banyak juga keluarga yang tidak berhasil mendapatkan bantuan itu. Tidak ada loket khusus untuk penerima PIP, antrean yang panjang, dan data yang tidak diinput. Kedua, PIP tidak tepat sasaran karena data yang ada di daerah kurang valid. Ukuran Penilaian dari Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan tentang program perlindungan sosial di lingkungan urusan pendidikan adalah jumlah sasaran dari program perlindungan sosial belum bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dalam hal ini guru jenjang pendidikan dasar, mengingat jumlah anggaran yang terbatas.

Belanja Perlindungan Sosial Dinas Kesehatan

Anggaran kesehatan di Kabupaten Lombok Utara dan Gunungkidul telah memenuhi mandat UU Kesehatan pasal 171 Ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yakni minimal 10% dari total Belanja Daerah, di luar gaji pegawai. Hanya Kota Padang yang belum memenuhi ketentuan UU tersebut. Kota Padang mengalokasikan anggaran untuk urusan kesehatan rata- rata hanya 8% dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, anggaran untuk urusan kesehatan Kota Padang dipatok Rp166,3 miliar atau 7,7 persen dari total belanja daerah. Pada 2017, anggaran tersebut naik menjadi Rp211,3 miliar atau 10,2 persen namun turun kembali pada 2018 yang hanya mencapai Rp139,7 miliar atau 6 persen dari total belanja daerah. Kabupaten Lombok Utara dan Gunungkidul masing-masing mengalokasikan 13 persen anggarannya untuk urusan kesehatan. Terkait Belanja Perlindungan Sosial di Dinas Kesehatan, Kabupaten Lombok Utara mempunyai rata-rata persentase lebih tinggi dibanding dua daerah lainnya, meski secara nominal anggaran perlindungan sosial Dinas Kesehatan Kota Padang lebih besar. Pemda Lombok Utara mengalokasikan hingga 47 persen dari total belanja Dinas Kesehatan atau Rp32,9 miliar. Sementara Kota Padang mengalokasikan rata-rata sebesar Rp56,3 miliar atau 20 persen dari total belanja kesehatan pada 2016-2018. Kabupaten Gunungkidul sendiri mengalokasikan anggarannya sebesar Rp7,9 miliar atau 7 persen. Lihat grafik di bawah ini:

Grafik 3. Tren Belanja Sosial Dinas Kesehatan Tahun Anggaran 2016-2018

Besaran anggaran di atas, oleh dinas kesehatan masing-masing daerah digunakan untuk membiayai kegiatan, antara lain: pelayanan kesehatan ibu, remaja dan usia lanjut; pelayanan kesehatan bayi dan anak; pencegahan dan penanggulangan masalah gizi; kemitraan asuransi kesehatan masyarakat; pelayanan kesehatan penduduk miskin; penyelenggaraan kesehatan remaja dan lansia; serta penyuluhan kesehatan bagi ibu hamil dari keluarga kurang mampu.

Khusus Kota Padang, sejak 2016 hingga 2018 mendapat anggaran untuk kegiatan Jaminan Persalinan (Jampersal) dari DAK Non Fisik sebesar rata-rata Rp1,1 miliar per tahun. Anggaran ini bisa didapat dengan cara mengusulkan (membuat proposal) yang diajukan kepada Kementerian Kesehatan.

Hasil studi lapangan menunjukkan Kabupaten Lombok Utara memiliki inovasi dalam menyelesaikan masalah kesehatan di tingkat lokal. Program inovasi Kabupaten Lombok Utara yaitu, pertama, SABERGEBUK (Sapu Bersih Gizi Buruk), program ini khusus untuk penanganan gizi buruk yang dialami oleh sebagian masyarakat di Lombok Utara. Sama seperti program SABERDO (Sapu Bersih Drop Out), program ini melibatkan tenaga kesehatan baik itu dokter desa, bidan desa, Poskesdes (pos Kesehatan Desa), Pustu (pusat kesehatan masyarakat pembantu) dan kader posyandu (pos pelayanan terpadu). Selain itu, juga melibatkan pemerintah desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama dan adat. Tim Sabergebuk disahkan lewat Surat Keputusan Bupati. Tim ini juga bekerja sama dengan P3A ketika misalnya ada kasus kekerasan dan gizi buruk.

Kedua, program Penerima Bantuan Iuran (PBI), dengan jumlah penduduk 230.000 jiwa. PBI dapat menjangkau 123.000-an jiwa penerima, dan pemerintah daerah menjangkau sekitar 30.000-an jiwa. Ketiga, program DEBES (Desa Bersih dan Sehat) diinisiasi oleh Pemda. Program DEBES adalah perlindungan ibu hamil untuk mencapai angka kematian ibu (AKI) nol. Setiap desa mendapatkan fasilitas mobil ambulans satu unit dan tenaga kesehatan terdiri atas dokter desa, bidan desa, perawat dan tim gizi. Tenaga kesehatan tersebut tinggal di desa dan pembiayaannya oleh Pemda Lombok Utara. Keempat, Program Dokter Desa, di Lombok Utara meliputi 23 desa dan difasilitasi dengan adanya dokter desa. Program ini bertujuan memaksimalkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Penelitian ini juga menemukan beberapa masalah yang dihadapi dalam menjalankan program perlindungan sosial di Dinas Kesehatan. Problem yang saat ini masih dihadapi dalam pengelolaan BPJS di daerah seperti di Kabupaten Lombok Utara adalah kesadaran masyarakat untuk ikut asuransi BPJS masih kurang. Pemerintah kabupaten saat ini sudah tidak menanggung keanggotaan/pembayaran premi BPJS.

Belanja Perlindungan Sosial Dinas Sosial Belanja Dinas Sosial di tiga daerah penelitian setiap tahun mendapat alokasi anggaran yang relatif kecil dari APBD, padahal urusan sosial termasuk urusan wajib layanan dasar yang diutamakan. Sebagai leading sector untuk isu-isu sosial, Dinas Sosial di tiga daerah tersebut mengalokasikan anggaran untuk urusan sosial tidak lebih dari satu persen dari total belanja daerah. Dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki, distribusi alokasi anggaran Dinas Sosial untuk program perlindungan sosial terpotret sebagaimana grafik di bawah ini:

Grafik 4. Tren Belanja Perlindungan Sosial Dinas Sosial Tahun Anggaran 2016-2018

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa anggaran Dinas Sosial Kabupaten Gunungkidul dan Lombok Utara mengalami fluktuasi setiap tahun dengan alokasi belanja untuk program perlindungan sosial rata-rata Rp2 miliar dan Rp3 miliar. Sementara anggaran Dinas Sosial Kota Padang mengalami kenaikan setiap tahun, meski persentase untuk program perlindungan sosialnya cenderung menurun dengan nominal anggaran yang stagnan di angka Rp2 miliar.

Di Gunungkidul anggaran sebesar Rp2 miliar digunakan oleh Dinas Sosial untuk menyelenggarakan kegiatan, antara lain, (1) pendampingan fakir miskin dan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial); (2) pelayanan perlindungan dan jaminan sosial; (3) pelatihan keterampilan berusaha bagi keluarga miskin; (4) penanganan cepat tanggap darurat dan kejadian luar biasa; (5) pelatihan keterampilan dan praktik belajar kerja bagi anak terlantar.

Kegiatan perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kabupaten Lombok Utara relatif sama dengan Gunungkidul, hal yang berbeda antara lain, (1) pelayanan dan perlindungan hukum bagi korban eksploitasi, perdagangan perempuan dan anak, yang mendapat alokasi anggaran rata-rata sebesar Rp65 juta; (2) bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni sebesar Rp352 juta; (3) jaminan sosial korban bencana alam sebesar Rp96,5 juta; (5) jaminan sosial korban bencana sosial sebesar Rp49,5 juta; (6) dukungan program pengembangan Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp216,5 juta.

Sementara kegiatan yang relatif berbeda di Kota Padang antara lain: (1) jaminan sosial bagi lansia dengan anggaran rata-rata per tahun sebesar Rp85 juta; (2) jaminan sosial bagi eks penderita psikotik/sakit jiwa kronis miskin terlantar sebesar Rp24 juta; (3) pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) bagi fakir miskin sekitar Rp149,6 juta; dan (4) pemberdayaan penyandang disabilitas dengan anggaran mencapai Rp224 juta yang tersebar di empat kegiatan.

Belanja Perlindungan Sosial Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Anggaran untuk urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari proporsi yang dialokasikan untuk urusan P3A yang tidak lebih dari satu persen dari total APBD. Minimnya anggaran untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tidak lepas dari penggabungan beberapa urusan dalam satu instansi. Misalnya di Gunungkidul, pemberdayaan perempuan dan anak diurus oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3AKBPM&D). Di Lombok Utara bergabung dalam Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (Dinsos-P3A). Di Kota Padang bernama Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB). Potret anggaran program atau kegiatan perlindungan sosial pada dinas yang mengurusi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di atas adalah sebagai berikut:

Grafik 5. Tren Belanja Perlindungan Sosial Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Grafik di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Gunungkidul hanya menganggarkan sekitar Rp473 juta atau 20 persen dari total anggaran Dinas P3AKBPM&D untuk program perlindungan sosial. Sementara Kabupaten Lombok Utara dan Kota Padang masing-masing menganggarkan sebesar Rp802 juta atau 8 persen dari anggaran Dinsos P3A Lombok Utara dan sebesar Rp1,3 miliar atau 33 persen dari total belanja Dinas P3AP2KB Kota Padang.

Meski tidak besar, anggaran tersebut digunakan untuk beberapa kegiatan, antara lain: (1) perlindungan perempuan dan pemenuhan hak anak; (2) pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender; (3) peningkatan kapasitas P2TP2A dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak; (4) pengembangan bakat dan keterampilan anak terlantar; (5) pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan terhadap anak; dst.

Belanja Perlindungan Sosial Dinas Ketenagakerjaan

Anggaran yang dikelola Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) di tiga daerah penelitian juga tidak besar. Disnaker Gunungkidul rata-rata mengelola anggaran sekitar Rp5,6 miliar dalam tiga tahun (2016-2018). Disnaker Lombok Utara mengelola Rp5,1 miliar dan Disnaker Kota Padang sekitar Rp3,8 miliar. Anggaran tersebut tidak lebih dari satu persen dari total belanja APBD masing- masing daerah, rata-rata antara 0,3 persen hingga 0,6 persen dari total belanja APBD.

Alokasi anggaran Disnaker untuk program/kegiatan perlindungan sosial di Gunungkidul rata-rata mencapai Rp1,9 miliar atau 36 persen dari total anggaran Disnaker Gunungkidul. Adapun anggaran yang masuk kategori perlindungan sosial di Disnaker Lombok Utara rata-rata dianggarkan sebesar Rp584 juta atau 27 persen dari total anggaran Disnaker Lombok Utara. Program dan kegiatan yang masuk kategori perlindungan sosial di Disnaker Kota Padang sendiri rata-rata mencapai Rp1,4 miliar atau 38 persen dari total anggaran.

Grafik 6. Tren Belanja Perlindungan Sosial Dinas Tenaga Kerja Tahun Anggaran 2016-2018

Salah satu program/kegiatan perlindungan sosial yang sama di tiga daerah adalah fasilitasi penyelesaian prosedur perselisihan hubungan industri dan ketenagakerjaan serta pemberian perlindungan hukum dan jaminan sosial ketenagakerjaan. Kabupaten Gunungkidul mengalokasikan anggaran sebesar Rp144,6 juta untuk dua kegiatan tersebut, sedangkan Kabupaten Lombok Utara dan Kota Padang masing-masing mengalokasikan anggaran sebesar Rp140,6 juta dan Rp297,8 juta. Kegiatan-kegiatan lainnya seperti penyelenggaraan pendidikan dan keterampilan bagi pencari kerja dengan anggaran antara Rp316 juta hingga Rp660 juta dan penanganan TKI bermasalah rata-rata Rp62,4 juta.

Pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintah pusat, melakukan upaya pengurangan jumlah TKI ke luar negeri, contohnya seperti yang dilakukan oleh Kabupaten Lombok Utara. Jumlah TKI yang berangkat ke luar negeri tercatat 1.008 orang sepanjang 2017. Negara tujuan TKI tersebut antara lain Malaysia sebanyak 674 orang, Taiwan 96 orang, Singapura 38 orang, Hongkong 118 orang, dan Brunei Darussalam 71 orang (Disnaker KLU 2018).

Beberapa program juga dilaksanakan untuk mengantisipasi tingginya animo masyarakat yang menjadi TKI. Pertama, program Desa Migran Produktif, program ini diperuntukkan bagi tenaga kerja yang sudah purna untuk tetap dapat melakukan aktivitas ekonomi secara baik. Program ini merupakan bantuan dari pemerintah pusat. Tahun 2017-2018 terdapat empat desa di Kabupaten Lombok Utara yang menjadi lokasi program. Kedua, Pemerintah Kabupaten Lombok Utara juga membangun fasilitas berupa Balai Latihan Kerja (BLK) untuk peningkatan kapasitas dan keahlian masyarakat, dengan memberikan pelatihan perbengkelan, produksi lebah madu, dan kegiatan ekonomi produktif lainnya.

Ketiga, program fasilitasi kasus yang dialami oleh tenaga kerja lokal yang diperlakukan tidak baik, misalnya dipecat sepihak oleh perusahaan dan tidak diberi pesangon. Pemerintah daerah Kabupaten Lombok Utara melakukan fasilitasi antara pekerja dengan perusahaan, kasus ini banyak terjadi pada pekerja hotel di kawasan wisata Kabupaten Lombok Utara. Keempat, program penataan kawasan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, memindahkan warung di pinggir jalan.

Selain upaya tersebut, peneliti juga merekam adanya tantangan yang dihadapi dalam implementasi program perlindungan sosial di sektor ketenagakerjaan di daerah. Diantaranya ialah isu disabilitas dan pekerja anak. Program belum menyentuh kelompok disabilitas. Pemerintah daerah sedang mengupayakan untuk melibatkan kelompok disabilitas. Di Lombok Utara terdapat sekitar 200 orang difabel dengan kategori usia produktif. Di isu pekerja anak, pemerintah pernah melakukan upaya untuk penanggulangan pekerja anak di level desa. Namun daerah tidak memiliki data pekerja anak dan upaya perlindungan pekerja anak tidak berlanjut.

Kendala yang dihadapi oleh Disnaker Lombok Utara dalam menjalankan program perlindungan sosial adalah: 1) alokasi anggaran bagian tenaga kerja Rp800 juta dari total anggaran Disnaker sebesar Rp7 Miliar atau hampir 10%; 2) hambatan kapasitas atau jumlah SDM Disnaker di Kabupaten sehingga membutuhkan bantuan provinsi jika ada masalah; 3) belum ada mediator di tingkat kabupaten.

Dari ketiga wilayah yang diteliti, ada temuan praktik baik terkait implementasi PUG di program perlindungan sosial. Di Kabupaten Lombok Utara, penyusunan anggaran untuk sekolah perempuan dimulai dengan proses perencanaan lewat Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) Perempuan Pertama di Kabupaten Lombok Utara pada 2016. Musrenbang terlaksana atas kerjasama Pemda Kabupaten Lombok Utara dengan LPSDM-Institut KAPAL Perempuan. Selama ini Musrenbang banyak fokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan belum banyak memberi perhatian pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Dalam Musrenbang perempuan ini banyak usulan prioritas untuk melakukan pemberdayaan misalnya pendidikan kritis untuk perempuan akar rumput, pendidikan kesehatan reproduksi, pendidikan tentang ekonomi perempuan dan lain-lain sehingga dapat berkontribusi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG). Hasil-hasil Musrenbang Perempuan, akan diperjuangkan dalam Musrenbang reguler. Oleh karena itu, perwakilan dari Musrenbang Perempuan mempersiapkan tim tambahan dan argumentasi usulan. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki keputusan-keputusan umum dalam Musrenbang yang selama ini cenderung mengarah pada pembangunan infrastruktur.

Sementara di Kabupaten Gunungkidul terdapat Surat Edaran Bupati Gunungkidul No. 140/2967 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan RKP 2016, yang di dalamnya secara tegas menyebutkan bahwa kelompok rentan termasuk disabilitas dilibatkan sebagai peserta musyawarah di tingkat desa, adalah regulasi yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.

Kategorisasi Anggaran Belanja Pada Program Perlindungan Sosial di Tiga Wilayah

Debbie Budlender dan Guy Hewitt dalam Engendering Budgets: A Practitioners’ Guide to Understanding and Implementing Gender-Responsive Budgets (2003) menjelaskan ada dua kerangka dasar yang menjadi acuan analisis anggaran responsif gender yaitu kategorisasi tiga langkah anggaran belanja dan pendekatan lima langkah. Metode tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis anggaran. Pada penelitian ini penulis menggunakan kategori tiga langkah untuk menganalisis anggaran responsif gender pada program perlindungan sosial di tiga wilayah. Kategorisasi tersebut ialah (1) gender-specific expenditure/pengeluaran spesifik gender; (2) equal opportunity expenditure for civil servants/pengeluaran untuk memberikan kesempatan yang sama dalam pekerjaan; (3) Mainstream budget expenditure/general expenditure (the rest) considered in terms of its gendered impact/pengeluaran umum yang dipertimbangkan dalam hal dampak gendernya.

Dalam menggunakan analisis ini kita juga perlu teliti karena anggaran responsif gender tidak sama dengan anggaran khusus perempuan, tetapi anggaran yang dapat memberikan akses yang sama dan adil bagi perempuan, laki-laki, anak, lansia, penyandang disabilitas dengan mempertimbangkan perbedaan dan kekhasan kebutuhan.

Ciri dari kategori gender-specific expenditure ialah adanya alokasi khusus yang ditargetkan berdasarkan jenis kelamin dengan mempertimbangkan aspek afirmasi, kondisi yang marginal dan kebutuhan yang khusus. Contohnya: program kesehatan perempuan, pendidikan yang spesifik untuk perempuan. Kemudian ciri dari equal opportunity expenditure for civil servants atau equal employment opportunity expenditure adalah alokasi anggaran untuk menciptakan peluang yang setara dalam mengakses pekerjaan. Contohnya: pelatihan untuk manajer perempuan, pelatihan gender untuk pejabat publik. Dalam sektor ketenagakerjaan ada dua hal yang dapat diukur, yaitu gaji atau pendapatan dan representasi perempuan dalam posisi pengambil keputusan. Sementara ciri dari mainstream budget expenditure ialah alokasi anggaran umum yang bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Misalnya, alokasi belanja di dinas pendidikan apakah telah menciptakan akses yang setara bagi anak perempuan dan laki-laki, penyandang disabilitas dan kelompok rentan?

Pada tabel di bawah terlihat bahwa program sosial pada Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, dan Dinas Ketenagakerjaan masih didominasi oleh program yang umum, artinya belum spesifik gender. Sementara di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Dinas Kesehatan program spesifik gender sudah terlihat. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh minimnya akses data. Di tiga Kabupaten/Kota penelitian belum terdapat data pilah gender di dinas terkait. Kota Padang menyatakan saat ini sedang menyusun data pilah gender. Dengan demikian program yang diajukan sangat umum, misalnya di Dinas Pendidikan tentang program penyelenggaraan kejar paket, seharusya bisa spesifik dengan berangkat dari data bahwa angka putus sekolah anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan temuan-temuan penelitian dan penelusuran anggaran pada dinas terkait di tiga  daerah penelitian, dapat disimpulkan bahwa, pertimbangan yang dilakukan oleh kementerian maupun dinas di daerah dalam merumuskan program perlindungan sosial berbasis pada target penerima manfaat yang responsif gender dan inklusif adalah angka kemiskinan, kesenjangan gender, dan kelompok-kelompok yang selama ini tereksklusi. Hal ini dibuktikan salah satunya dengan adanya program sosial yang diperuntukkan bagi kelompok rentan seperti perempuan, lansia, penyandang disabilitas, anak terlantar, dan keluarga miskin. Namun demikian, penggunaan data terpilah gender berdasarkan jenis kelamin belum cukup menjadi pertimbangan karena data belum tersedia (Kabupaten Lombok Utara dan Kota Padang).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah telah ada alokasi anggaran responsif gender untuk program afirmasi perempuan, anak, lansia dan penyandang disabilitas. Meski demikian terlihat bahwa anggaran dan pengeluaran belanja spesifik gender masih terpusat di dinas-dinas yang identik dengan urusan perempuan. Selain itu, alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial yang dikelola oleh Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Dinas Ketenagakerjaan masih sangat minim, sehingga belum mampu membuat akselerasi penanggulangan kemiskinan, terutama bila terjadi kondisi-kondisi darurat seperti bencana alam. Selain program perlindungan sosial yang generik dari pusat, baik Kabupaten Gunungkidul, Lombok Utara, dan Kota Padang juga mempunyai program-program perlindungan sosial yang inovatif dan khas daerah masing-masing, terutama untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan mengurangi laju kesenjangan laki-laki dan perempuan. Program-program perlindungan sosial yang inovatif perlu terus dikembangkan oleh masing-masing daerah dengan menambah dukungan pendanaan yang lebih besar dari APBD.

Meskipun kelompok sasaran program perlindungan sosial sudah menyasar kepada keluarga atau individu masyarakat miskin, seperti pengangguran, penyandang disabilitas, lansia, anak, dst, tetapi pertimbangan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kelompok yang tereksklusi tetap perlu dilakukan. Untuk itu, ketersediaan data pilah gender berdasarkan jenis kelamin mutlak diperlukan. Perlu adanya peningkatan alokasi anggaran APBD untuk Program Perlindungan Sosial Daerah, terutama bagi daerah-daerah rawan bencana seperti Lombok Utara dan Gunungkidul. Penyediaan data pilah (profil) gender lintas urusan dan sektor. Profil gender inilah yang wajib digunakan untuk menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, terutama program-program perlindungan sosial.

Sumber : https://seknasfitra.org/analisis-anggaran-responsif-gender-pada-program-perlindungan-sosial-di-indonesia-studi-kasus-di-dua-kabupaten-dan-kota/

Tags: No tags

Comments are closed.